Minggu, 22 November 2015

Disini, Bersama Hujan

Aku masih disini, di tempat tinggal perantauan rumah dinas milik orang, sendiri dan sedang hujan dan bersama angin hadirnya. Aku masih sendiri dan sedang sendiri.

Aku tahu hari ini akan hujan. Bukan aku menjadi sok seorang peramal, tapi kalian tau sendiri lah acara prakiraan cuaca di tivi sudah jadi hal biasa jadi kusempatkan semalam untuk menyaksikan tivi peramal. Kopi hitam sudah disiapkan meski bukan kopi gilingan sendiri atau hasil panen sendiri di kebun, tapi cukuplah dijadikan sebagai partner hujan hari ini.

Aku masih disini dan aku tahu kalau sekarang sudah hujan. Kalian tahu juga kan kalau sekarang sedang hujan? Tidak tahu? Kalian harus segera bergegas buka pintu rumah mu beranjaklah keluar, ulurkan tanganmu biarkan tetes air hujan membuat syaraf mu merespon perbedaan suhu yang ada, tariklah nafas yang dalam dengan perlahan rasakan sedapnya bebaunan tanah kering yang baru saja terguyur hujan. Kalian menjadi tahu kalau sekarang hujan dan aku masih disini dan masih sendiri.

Akhirnya kalian tahu. Aku jadi punya tabungan seclumit amal karena telah membagikan hujan dengan kalian dan mudah – mudahan bias membantu kelak, disana, bukan disini.

Kalian tahu bahwa aku masih disini bersama hujan. Dan yang aku tahu, disana, bukan disini ada seseorang yang begitu tahu tentang hujan dan sekarang hujan. Dia pasti sedang memandang luas keluar jendela,, memindahkan kursi belajarnya dekat dengan jendela membuka luas – luas daun jendela membiarkan angin dengan sedikit komposisi air bersirkulasi dalam kamarnya  dan sebuah buku yang sudah disiapkan dalam pelukannya.

Dia akan menikmati setiap tetes air hujan yang akan jatuh menghantam bumi. Menerawang luas keseluruhan hujan kemudian memfokuskan pada salah satu sisi hujan dan memilih sebuah tetes hujan yang akan Dia ikuti hingga benar – benar pudar menghantam bumi. Begitu selanjutnya. Jika mau, kalian bias lakukan it uterus menerus hingga awan benar – benar sudah tidak memiliki tetes air lagi.

Ada sebuah keramat yang dia tahu ketika hujan. Tuhan yang mengijinkan hujan. Ketika hujan, Tuhan memerintahkan malaikatnya untuk menebarkan berkah hujan ke muka bumi hingga selang waktu tertentu dan kemudian hujan berhenti. Ada rentang waktu dimana mulai hujan, terjadi hujan dan hujan berhenti. Dan pasti dalam rentang waktu itu malaikat yang diutus oleh Tuhan itu sedang on dutty. Ada malaikat yang standby untuk mengoperasikan saklar ON hujan dan OFF hujan ketika kemudian berhenti. Dalam rentang waktu itulah Dia mengambil peluang.

Dia memandang jauh menembus lalu lalang hujan yang ada di depannya, pandangannya tampak sekilas kosong tapi ada, dia disana dan tahu betul apa yang sedang dilakukannya. Dia panjatkan doa yang terkadang sulit untuk terpendarkan dalam lantunan doa karena dia tahu ada kurir pesan yang sedang bekerja dan sangat dekat dengan Tuhan, sekirannya kurir itu bisa menyampaikan secara langsung pesan doa yang ditebarkan di sejauh hujan membasahi bumi.


Dan aku masih disini bersama hujan sekarang dengan kopi yang sudah mulai terlihat ampasnya dan aku mencoba menyimak doamu.

Kamis, 30 Juli 2015

Trip Invitation

Kemudian semesta mempertemukan.

Sore itu ada getar di telepon genggam merk terdahulu yang masih aku gunakan. Itu pertanda ada pesan yang masuk. Aku menghiraukan saja, karena biasanya di jam - jam itu akan ada pesan dari operator penyedia layanan jaringan yang selalu mengabarkan informasi dan promo terbaru. Getar itu bertahan tak lebih dari satu menit. Dan prasangka akan telepon genggam tersebut hanya berlalu begitu saja. Lupa.
Pekerjaan pun selesai pada waktunya, pulang pun juga sesuai dengan kewajibanku untuk bekerja. Malam kemudian mendapatkan giliran untuk menemaniku melewati hari. Kusandarkan badan sejenak pada tembok yang penuh dengan bekas coretan anak kecil. Tas yang biasa kubawa bekerja juga bersandar disitu. Aku kembali ingat kalau ada pesan masuk yang kulewatkan tadi sore. Didekatkanlah tas itu dan kuambil telepon genggam yang ada di kantong kecil pada tas tersebut. Pesan itu dari Dani, seorang temanku yang akan dirindukan usai melewati trip bersama.
Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh.. Halo teman - teman single,ada kabar gembira, ada ajakan trip dari teman 2 traveller saya di Banjar. Hari minggu ini bakal trip ke daerah Rantau. Starting point dari Banjarbaru jam 06.00 Wita. Bjb ke Rantau sekitar 2,5 jam , dikabarkan lokasi alam tidak bisa dilewati mobil jadi harus naik motor. Kalau ada yang berminat bareng2??......itu dari temenku mas, melu mas?
Ternyata sebuah ajakan trip, untuk menikmati semesta. Dilihat dari isi pesannya, kebanyakan dari mereka adalah para lajang yang masih bebas melanglang menjelajah nusantara ini.
Ajakan itu sangat menarik sekali, terlebih untuk beberapa bulan terakhir ini memang belum ada kesempatan untuk menghibur diri sendiri. Mungkin ini saatnya. Mengingat memang tidak ada kegiatan di minggu itu, aku menjawab "yes" dengan ringan kepada Dani. Pertemuan kembali dengan Dani mengenang perjalanan yang sudah pernah kami lalui, dulu.

Invitation trip itu bergetar di Kamis sore, dan waktu memang berlalu begitu cepat bagi yang tak menyadari. Pagi itu, untuk daerah Wita ukuran jam 06.00 menyajikan suasana pagi yang masih sedikit gelap, beberapa motor sudah terparkir, sedikit berantakan. The day has come. Hari ini! Undangan perjalanan yang kemarin aku biarkan saja, kini aku berada diantara motor - motor yang terparkir itu. Telah siap dengan helm, motor dan kesiapan diri yang cukup. Kemudian kamu muncul.
"Haiiii,,,", sapanya mengambang.
Dan aku kembali terdiam.

Rabu, 29 Juli 2015

Mimpi Ke Jerman

#05

Mulai setelahnya.
Setelah terbiasa dengan candaan dan gurauan, mereka pun mensyahadatkan mimpi mereka. Untuk kali pertama mereka begitu serius dalam memberikan penekanan akan mimpinya.  Raut muka lusuh penuh gurau seketika menjadi wajah dewasa yang siap untuk menghadapi segala cobaan hidup. Entah bagaimana semangat mereka begitu tampak dan memberikan aura hangat disekitarrnya untuk sekejap. Dan kembali canda menutup semangat mereka dengan riang, semesta pun menyambut. Hujan.
Awan dan Nelil, dua laki - laki yang diperkenalkan melalui kesamaan bidang jurusan yang mereka pilih saat memasuki kelas 2 SMA. Jurusan yang bisa dibilang jurusan minoritas, karena memang dibandingkan dengan dua jurusan yang lain jumlah kelas untuk jurusan ini sedikit. Dua jurusan yang lain, IPA dan IPS bisa mencapai sepuluh kali lipat dari jumlah kelas di jurusan ini, begitu juga pesertanya. Ya, mereka memilih jurusan bahasa. Bukan karena mereka tak mampu masuk ke jurusan IPA, tapi mereka "memilih" bahasa.
Mereka berdua, Awan dan Nelil dipacu mimpi oleh beberapa pendahulu di jurusannya yang sudah melenggang di Eropa, di Jerman. Para alumninya ini begitu komunikatif menguasai bahasa jerman ,aktif dalam mencari informasi belajar di Jerman dan berani memutuskan untuk ikut dalam program belajar langsung di Jerman. Ada program yang sangat dikenal oleh anak - anak jurusan bahasa sebagai jalan mereka untuk ke Jerman. Di dalam kelas mereka sudah dibekali kemampuan berbahasa jerman dengan baik. Sehingga iming - iming untuk melangkah berani ke Eropa sangatlah menggebu - gebu dalam diri mereka.
Awan dan Nelil bukanlah anak yang paling pandai dari sedikit anak - anak di kelas bahasa. Tapi mereka tahu benar memposisikan diri mereka di dalam kelas, diantara teman - temannya. Dengan gambaran dan cerita tentang Jerman dan semangatnya yang sudah menggebu dalam diri, mereka pun tak sungkan untuk bermimpi. Berikrar bahwa suatu saat nanti mereka berdua akan menginjakan kaki di Jerman. Bagaimanapun caranya, salah satunya dengan mengikuti program belajar ke Jerman dengan terlebih dahulu menjadi anak angkat keluarga di Jerman dan bekerja pada mereka.
Mimpi yang terikrar tumbuh dan mengharrapkan asupan nutrisi yang baik serta kondisi cuaca yang mendukung. Harus memiliki akar - akar yang kokoh yang mampu bertahan akan hembusan angin, virus jamur yang membusukan akar dan bersaing dengan gulma yang memojokan secara terang - terangan di depan mata.
Tak terasa dua tahun di jenjang SMA tidak lebih lama dibandingkan pembicaraan mereka akan mimpi ke Jerman. Ujian nasional telah usai, pengumuman kelulusan pun sudah diketahui setiap siswa hingga pada keluarga mereka. Selebaran, poster dan ajakan pendaftaran ke perguruan tinggi pun sudah banyak meracuni setiap siswa. Memberikan banyak pilihan yang masing - masing mampu menggoyahkan pribadinya. Hal itu juga terjadi pada mereka. Kini keduanya harus menentukan langkah mereka masing - masing ke depan. Mengaitkan ikrar mimpi mereka pada ujung tertinggi katedral.

Senin, 15 Juni 2015

Senyum Itu, Sekar

#04

Seperti malam yang lalu. Kali ini kembali kuhabiskan waktu untuk sekedar menaiki transportasi umum dan murah dari Bogor ke Jakarta. Pelancongan sore itu juga tidak terencana sama sekali. Saat matahari mulai menyingsing memerahkan awan putih tebal di sepanjang horizon, aku pun memutuskan untuk segera beranjak sebelum gela benar - benar membuatku malas.
Begitulah, aku lebih suka dengan keramaian dalam transportasi umum. Aku juga lebih nyaman dengan sepinya trasportasi umum daripada harus duduk menjamur di dalam kamar. Membuka mata selebar - lebarnya menatap luas keluar ruangan. Hal itu yang membuatku merasa lega. Terkungkung membuat pikiran yang sudah lama dipingit terasa semakin sesak. Beralih ke luar ruangan, ke tempat yang berbeda maupun baru akan lebih menggelorakan jiwa.
Aku mulai sering membaca buku. Dan aku begitu senang mecari - cari tempat baru untuk menghabiskan waktu hanya untuk sekedar membaca buku. Perjalanan panjang antar kota di jalanan metropolitan tak sepenuhnya menyebalkan. Apalagi dengan ditambahnya dengan acara bermacet - macet ria di bawah teriknya matahari yang melumerkan aspal jalanan. Namun ada klik kecil yang menjadi ajang untuk ku bersenang - senang. Menghabiskan setiap lembar demi lembaran buku.
Dibandingkan dengan kota - kota di pulau sebrang yang penuh kepastian di jalan, kemacetan ibukota memiliki nilai lebih. Sebagai gambaran saja di Kota - kabupaten Banjarbaru di Kalimantan selatan sana. Di sana waktu tempuh untuk pergi ke kota sebelah maupun kota yang sebelahnya lagi memiliki durasi yang sama di setiap waktunya. Pasti. Banjarbaru ke ibukota Kalimantan selatan - ke Banjarmasin sudah pasti akan ditempuh dalam rentang waktu 40 - 60 menit saja, di segala waktu. Lain dengan d metropolitan dimana waktu tempuh perjalanan di jam - jam tengah hari dengan di sore hari akan memberikan selisih waktu yang cukup signifikan. Waktu yang lama terbuang di kendaraan umum itulah waktu yang aku gunakan untuk bersenang - senang membunuh waktu dengan membaca buku.
Commuter line atau kereta listrik yang ada di jalur Jabodetabek sudah semakin nyaman. Menjadi tempat yang cukup menarik untuk kujadikan ajang merampungkan lembar terakhir buku - buku yang belum selesai kubaca. Banyak penumpang juga yang begitu pulas tertidur dengan semilir hembusan udara pendingin. Anak - anak kecil pun turut meramaikan gerbong KRL yang memang sedari tadi sudah rame. Tak tampak rasa khawatir dari wajah mereka.

Aku pulang terlalu larut. Mencoba mengejar pemberangkatan kereta terakhir dari Jakarta untuk tujuan akhir Bogor. Lebih dari jam sebelas malam kereta untuk jurusan Depok - yang nantinya bisa transit dari Depok untuk mereka yang memiliki tujuan akhir di stasiun Bogor - akhirnya datang. Gerbong begitu sepi, karena ini kereta paling malam yang mengantarkan penumpang dari Jakarta ke Bogor.
Ada seorang cewek tinggi semampai - sedikit lebih tinggian aku. Putih, dengan rambut terkuncir ke belakang dengan sedikit bercak bekas jerawat di mukannya. Sepatunya anggun dengan balutan celana jeans hitam beserta jaket putih dengan logo garuda di dada sebelah kirinya. Kulewati saja untuk mencari gerbong yang masih menyisakan tempat duduk yang masih lapang untuk sedikit meluruskan kaki.

Kembali kuposisikan badan ini untuk menikmati bacaan buku yang kubawa. Kaki sedikit selonjor menjadi terapi kecil untuk sekedar ajang rehat kedua kaki ini. Tak lama kemudian semakin penuh di dalam gerbong KRL tersebut. Dan mereka banyak yang turun di stasiun transit untuk melanjutkan perjalanan dengan rute yang berbeda sesuai dengan tujuan kepulangannya.
Saat kereta sampai di stasiun akhir hanya bersisa sepertiga bagian dari keseluruhan buku yang belum sempat kubaca.
Aku kembali berganti dengan angkot hijau dengan tujuan Sukasari. Kemudian nanti harus berganti lagi dengan angkot lain untuk sampai tujuan. Angkot masih ngetem menunggu penumpang sedikit memenuhi tempat duduk di belakang kemudinya. Masuklah seorang cewek yang tadi sempat kuperhatikan sejenak di dalam gerbong KRL. Ini cewek yang tadi kan? tanyaku dalam hati. Jaket putih dengan list merah di lengan panjangnya dan logo garuda yang menempel di dada sebelah kiri semakin kentara. Sepertinya dia salah satu atlit dalam kejuaraan antar propinsi , lagi ungkapku dalam hati.
Telapak dan bagian punggung tangannya semakin jelas putih dipandang  dari dekat. Jemarinya lentik, kecil dengan panjang yang cukup beserta kuku yang mucuk eri. Rambutnya masih dikuncir sehingga nampak sekali eksistensinya sebagai seorang atlit wanita. Tak banyak bicara. Hanya sesekali menolehkan pandangnya ke arahku. Sembari bebrapa sering aku mencoba sekilas memandang raut wajahnya.
Dia dan aku sama - sama turun di Sukasari untuk berganti angkot karena angkot hijau tadi trayeknya hanya sebatas itu. Jam tangan sudah mulai beranjak di pukul 02.00 dini hari. Angkot lain dengan tujuan Cisarua sudah ada di depan - angkot yang manjadi pengantarku selanjutnya. Aku kembali memandang cewek tadi, Ia juga sepertinya menggunakan angkot yang sama. Entah kenapa aku langsung saja masuk ke dalam angkot yang penumpangnya sudah tak ideal lagi. Berhimpit - himpitan antar pinggul di dalam sana. Sementara kupandang keluar, cewek tadi masih di luar menunggu untuk angkot berikutnya datang. Dia sendirian. Kemudian kemudi pun mulai bergerak.
Kenapa aku ini masuk begitu saja dalam angkot ini, sementara di luar tadi ada cewek yang harus menunggu angkot di jam - jam segini sendirian. Apapula memaksakan diri berjubel dengan penumpang lain disini. Kenapa tadi tidak turun untuk sekedar menemani menunggu angkot dari pada Ia harus sendirian? Apakah tidak apa - apa baginya untuk menunggu sendirian diwaktu yang mulai menjelang pagi?aahhhh, goblogg, goblog, goblog.....Lagi, kebodohan terulang dan kembali terlambat untuk sadar. Gumaman dalam hati sembari memandang ke belakang angkot yang sudah melaju jauh. Mata ini tak lepas menatap ke belakang, berharap akan ada angkot rute yang sama dimana Ia sudah ikut di dalamnya, tak lagi menunggu.
Kembali lagi. Carut marut rasa bersalah masih menggondok. Tak mau pergi. Kenapa kok aku goblog terus?Kok tega tak tinggalin sendiri? Kembali meronta di dalam hati. Memang demikian, cewek itu bukanlah siapa - siapa, tahu nama pun tidak, menatap wajahpun hanya sepintas mencuri - curi pandang. Namun rasa bersalah sebagai seorang laki - laki yang membiarkan perempuan untuk menunggu angkot sendirian dalam sepinya dini hari tek membuatku tenang di dalam angkot meskipun Ia bukan seseorang yang aku kenal.
Terlalu banyak gumaman dalam hati membuatku tak sadar hanya tinggal aku sendiri dalam angkot itu sesampainya di Ciawi. Tak ada lagi penumpang lain yang hendak naik ke Cisarua. Sopir angkot tak serta merta menurunkan ku disitu. Meski aku tahu angkot ini hanya mengantarku sampai di sini saja karena masih cukup jauh jikalau hanya membawa satu orang penumpang saja. Sopir masih me-ngetem-kan kendaraannya hingga tiba angkot dengan trayek yang sama membawa tiga orang penumpang.

"Mas ikut depan ya...", ucap akang sopir memintaku untuk berpindah angkot.
"Iya, suwun kang...", balasku sembar berjalan ke angkot yang dimaksud.

Aku buru - buru masuk ke dalam angkot karena sepertinya angkot tidak berniat untuk menunggu penumpang lain. Seketika itu aku tertegun. Diam menunduk menuju tempat duduk di bagian dalam. Cewek tadi ada disana. Kurasakan kelegaan dalam hati, mengingat Ia tak apa - apa. Sedemikian itu pula pandang ini tak sanggup menengadah mengingat diri ini sebagai pengecut. Aku kembali diam. Begitu juga Dia. Diam seperti sebelumnya dan mulai sedikit memalingkan arah pandangnya.

"Soriii yang tadi...", tiba - tiba kata itu keluar begitu saja. Ia kemudian hanya memalingkan wajahnya kepadaku.
"Kenapa?...", tanyanya sambil sedikit menajamkan mata
"Tadi kutinggal nunggu sendirian....soriii"....
Seberkas senyum keluar dari wajah putihnya dengan sedikit riasan bercak bekas jerawat.
"Iya, nggak papa...", ucapnya kemudian.

Aku kembali terdiam kaget, dengan apa yang telah kulakukan tadi.

"Aku Dino....", lanjutku memperkenalkan diri
"Aku Sekar....." jawabnya dengan senyum yang lebih lebar dari senyumnya tadi...

Henti angkot pun mengakhir percakapanku dan Dia pagi itu./ad

Jumat, 05 Juni 2015

Menanggalkan Kantuk, Untuk Bekalku

#03

Malam kembali.
Begitulah. Sekali lagi kembali pada  malam lagi. Karena malam adalah menjadi salah satu tempatku berbagi. Berbagi kebahagiaan, atas kebebasan.

Perjalananku mengunjungi sahabat menggunakan moda transportasi umum negeri ini membawa banyak cerita. Cerita yang sangat berharga untuk aku lewati begitu saja. Cerita yang memberikan donasi akan wawasan kepemikiran yang lebih luas. Memikirkan, menyangka dan menyikapi suatu hal dilibatkan analogi persepsi dari segala sisi yang saling menguatkan  kebenarannya masing - masing. Menyimpulkan keseluruhan persepsinya dalam satu keputusan yang paling bijak.
Dalam perjalanannya seiring kemudian, aku seakan merasa menjad orang yang dibawah. Terlalu banyak hal - hal yang terus menguji kehidupan yang dilalui. Setiap uji pun tak hanya berhenti di satu waktu saja. Kelanjutan sebagai efek dari reaksi berantai dari masalah yang ada menjadikan bahan uji yang baru.

Setelah kehilangan buku bacaan di ATM di area stasiun membuatku memunculkan berbagai prasangka. Semua itu sangat cukup membuat penuh pikiran yang sudah terlalu sering terhipnotis tanpa arah. Akhirnya kuputuskan untuk membeli baru buku yang sedang kubaca itu - buku yang hilang. Dengan begitu mengalihkan prasangka yang cukup bisa diterima oleh 'sisi baik'.

"Kubeli saja lagi, mudah - mudahan yang ngambil juga orang yang hobi baca dan bisa berbagi bacaan dengan orang lain", begitu saja kupaksa melewatinya.

Tak berlama - lama aku terpaku dengan masalah itu. Kumulai menatap jauh mengikuti arah penanda jalan keluar dari stasiun. Dilaluinya jalan keramaian orang - orang yang lalu lalang disana. Salip kanan, potong kiri, terobos dari tengah - tengah dan manuver kemana - mana agar tetap sesegera mungkin keluar dari keramaian tanpa mengganggu (red : menabrak) pengguna jalan lain. Angkot jadi fokus utama mataku ini.
Kereta terakhir hari itu. Sudah larut? Ya, pasti! Sudah sepi penumpang pastinya?! Anda keliru. Orang - orang masih berbondong - bondong di kloter akhir dari perjalanan kereta mereka. Seolah menggambarkan gairah dinamis dari kehidupan yang melingkupi kehidupan manusia dalam dunia ini. Angkot - angkot metromini sudah siap melayani di bibir akhir jalur bagi pejalan kaki yang disediakan oleh pihak stasiun. Untuk kembali pulang.

"Bang, ke Sukasari", sapaku.
"Ayo mangga, masuk", jawab supir metromini dengan selanjutnya meminta penumpangnya untuk merapatkan tempat duduk dan memberi sedikit tempat untukku.

Perjalananku pulang pada kloter commuter terakhir tak memberikan pembeda pada jumlah penumpang di metromini yang masih saja berhimpitan. Hanya jalan saja yang begitu lengang untuk si sopir memacu kendaraanya. Jadi dapat menghemat waktu tempuh dibandingkan dengan keadaan pagi dan sore hari saat jam berangkat dan pulang kerja.
Sebelu sampai di Sukasari, mikrolet melewati sebuah pasar yang menjorok ke jalan - jalan. Jam tangann menunjukan tinggal kurang dari lima belas menit menuju pukul satu dinihari. Di jalan itu bukanlah pasar bubrah atau pun pasar setan seperti yang ada di lembah - lembah pegunungan. Tapi ini real pasar. Orang - orang yang saat itu sedang lalu - lalang di pasar adalah orang sungguhan, bukan jadi - jadian. Sama sekali bukan.
Ya begitulah. Kadang aku merasa menjadi orang yang begitu terlalu bekerja keras dalam menjalani hidup. Seakan tak ada yang lebih pedih dari keadaan yang menimpa. Kerja keras yang dilalui tiap harinya untuk menghidupi diri, setiap tetes keringat yang kemudian terkonversi menjadi koin perak yang menghadirkan sesuap nasi untuk terbakar dalam tubuh. Hal itu yang kemudian membuatku terlalu memandang cetek hidup ini. Terlalu banyak orang yang lebih beruntung dibandingkan ku sendiri.
Di sepanjang jalan itu aku mulai memandang jauh sekitaran. Waktu seakan terjadi lag antara waktu yang kujalani dan waktu bagi mereka berlalu. Aku dapat memandang setiap detil yang terjadi dalam pasar itu. Bapak - bapak yang dengan jeli memilah - milah bahan sayuran, beberapa orang sibuk membongkar karung - karung sayur dar kendaraan coak - pick up, beberapa lagi memasukannya ke dalam kendaraan milik mereka sendiri yang mungkin nantinya akan didistribuskan ke daerah lain.
Aku merasa paling bekerja keras, padahal dikala aku sedang pulas menikmati tidur dan mengimaji segala mimpi di luar sana ada banyak orang yang menanggalkan selimut mereka, mencoba memeras keringat dalam dinginnya udara tengah malam demi sesuap nasi dan bekal untuk anak - anak mereka bersekolah di kala mentari nantinya menyingsing. Mencoba menanggalkan kantuk untuk dapat memberi penghidupan pada keluarga mereka dan juga untuk menghidupi tiap - tiap sesamannya yang sejatinya harus hidup.
Ketika dapat memandang segalanya lebih luas, dari berbagai sisi, aku mulai mendapatkannya sebuah kenikmatan dalam diri. Biasanya kutandai dengan senyum - senyum sendiri./ad

Selasa, 02 Juni 2015

Kang, maaf bukunya

#02

Malam.
Karena malam itu sangat kusukai. Malam adalah batas dari orang pada umumnya menggunakan kebebasan mereka. Bagiku, malam itulah kebebasan.

Perhentianku kini berada di kota hujan. Kota bogor dengan kepopulerannya bersama macet saat akhir pekan datang. Urban dari ibukota negara beralih menuju kota ini disaat liburan. Tak ayal meskipun sudah buka-tutup jalur tetap saja padat sangat merayap, malah bahkan macet sama sekali tak bergerak. Tentu saja kondisi seperti ini yang sangat sering dan akhirnya menjadi maklum dengan hal yang namanya macet. Maklum karena memang sudah biasa. Tak begitu menjadi masalah, asalkan bukan kesalahan yang sangat sering sehingga menjadi maklum yang berkelanjutan.
Perjalananku diiringi dengan transportasi umum. Aku berencana ke ibukota bumi pertiwi ini menggunakan commuter. Transportasi yang memiliki jalur monopoli ini sudah cukup nyaman di negeri ini. Sebelum ke stasiun tempat transportasi ini berada aku menggunakan metromini alias angkot lokal yang begitu banyak di kota Bogor. Bahkan sampai ada temenku yang bilang kalau Bogor sekarang memiliki julukan lain setelah kota hujan, yaitu kota angkot. Bagi pemula di kota ini juga tak perlu begitu khawatir. Kalau lah memang tidak tahu angkot trayek mana yang harus dinaiki, tinggal tanya saja ke akang supir angkotnya. Mereka, si akang ini akan mengarahkan dan sedikit memberi saran untuk sampai tujuan.

Aku masuk ke ruang Anjungan Tunai Mandiri untuk mengambil uang cash. Uang yang aku gunakan untuk membeli saldo di kartu tiket elektronik yang digunakan untuk mengakses fasilitas commuter. Beberapa ratus ribu juga aku ambil untuk pegangan di ibukota dan selanjutnya mengantri barisan untuk membeli saldo. Setelah dapat giliran bergegas aku langsung memasuki portal tiketing untuk menuju lokasi kereta. Tiba - tiba teringat ada sesuatu yang tertinggal saat aku mengambil uang tunai tadi. Ya, tadi aku membawa sebuah buku untuk baacaanku di dalam kereta. Aku beranjak keluar lagi untuk kembali ke ruangan ATM. Dan bukunya sudah tidak ada.
Bukunya hilang. Sedikit menyesal, pasti. Karena aku sedang asik menikmati buku itu dari tiap - tiap pembahasan materinya. Dan harus terhenti sampai disana tanpa meyelesaikan buku tersebut. Padahal buku itu sangat menarik bagiku sendiri. Tak apa lah. Kuharapkan saja yang mengambil itu seorang penikmat buku juga. Jadi buku tersebut bisa menjadi salah satu penghibur di setiap perjalanan hidupnya. Dengan harapan lebih, setelahnya selesai dengan buku itu bisa menghubungi email yang pernah kutulis di buku itu. Lebih bersyukur lagi jika nantinya buku itu dikembalikan lagi ke orang yang punya.
Aku lalu saja. Kembali melanjutan niatku untuk bertamu ke ibukota. Dan tak sendirian saja ternyata yang sangat cinta dengan ibukota negeri ini. Berhuyung - huyung dan berbondong - bondong orang dimana - mana memenuhi jalanan menuju perhentian kerete api. Keramaian orang - orang ini menyamarkan suara petugas commuter yang mengumumkan kereta yang datang dan tujuan pergi dari masing - masing kereta di jalurnya. Sembari ada orang yang sepertinya memanggil - manggil. Tak lama berselang ada yang menepuk bahuku.

"Kang, maaf bukunya tadi ketinggalan di ATM", ringan mengambang suaranya yang juga dibarengi mengulurkan tangan menyodorkan buku yang tadi kubawa, yang tadi kucari.

Mulaiah kambuh lagi. Aku tertegun memandang penuh perempuan dengan suara yang ringan itu.

Senin, 01 Juni 2015

Pertanda Itu Benar

#01

Ya, dia Niluh. Nama itu yang diucapkan olehnya sebelum akhirnya Ia benar - benar pergi. Perjumpaanku saat itu hanya sebentar saja, Bahkan pertemuanku dengannya itu lebih nampak seperti sebuah mimpi. Tapi aku tak pernah menganggapnya sebagai mimpi. Meskipun di dalam hati berkata sebaliknya.
Impresi pertama  yang aku dapat darinya begitu ringan. Sesuai dosis, tidak kurang tak pula melebihi komposisi yang seharusnya. Dia membuka dengan obrolan yang ringan. Suaranya lirih gurih seperti nasi uduk hangat di pagi hari. Dia memulai perkenalan pertamanya begitu spontan dengan senyum terkembang yang pantas untuk disandingkan dengan misteriusnya senyuman monalisa.

Pencarian itu ku mulai dengan menanyakan langsung kepada temanku yang mengenalkannya. Adam, teman jauh ku yang dulu pernah hidup bersama untuk beberapa kurun waktu. Hidup dalam kesendirian membuatku tak ada pilihan lain untuk mencoba mencari kawan. Buatku bukanlah hal yang mudah untuk mencoba terbuka dengan orang lain yang belum sama sekali dikenal. Bahkan untuk orang yang sudah cukup aku kenal, masih ada kecanggungan untuk memulai obrolan. Tak ada pilihan lain, kucoba membuka diri dengan orang baru ini, Adam.

"Hhh,hei,.... eee, aku Dino", bukaku dengan sdikit terbata - bata.
"Ohh, ya, aku Adam. Salam kenal. Aku dari Jawa", jawabnya seketika dengan begitu ringan.
"Lho kok sama, ak yo Jowo", entah kenapa mulut yang biasanya kaku ini begitu licin di pulau orang hanya karena tahu kalau kami berasal dari satu pulau yang sama.

Senyumku mulai mengembang. Perbincangan itu pun kian meluas tentang segala hal. Bercerita kampung halaman masing - masing. Berbagi hal yang dilakukannya di tempat yang cukup baru ini. Begitulah, tempat yang jauh dari kampung halaman dan kesendirian yang saat itu menemani disetiap bergantinya waktu mengubahku menjadi seseorang yang berbeda. Entah itu lebih baik atau lebih buruk atau bahkan sama saja. Entahlah, aku tidak cukup mahir untuk menilai diri.
Perjumpaanku dengan Adam di pulau Alor itu berlanjut hingga kurun waktu tiga bulan ke depan. Ya sesuai dengan rencana perjalananku untuk mereview indahnya salah satu pulau di bagian timur Indonesia ini. Kami berdua memutuskan untuk mencoba mencari satu rumah untuk kami kontrak beberapa bulan ke depan dari pada harus kos per kamar. Tentu dengan pertimbangan cost dari masing - masing pilihan tersebut. Dapatlah kami dengan salah satu rumah milik om Gab yang harganya memungkinkan untuk kami.
Tiga bulan bersama Adam membuat kami cukup mengenal beberapa dari kami satu sama lain. Dulu yang aku rasa untuk melewati satu hari saja di pulau itu terasa begitu lama. Seakan waktu tak berubah. Untuk berganti dari matahari yang masih condong membesarkan pasak, tak kunjung merubah bayang tersebut menjadi ukuran yang lebih kecil. Dan kebersamaan mengubah banyak hal. Diantaranya waktu. Waktu tiga bulan bersamanya ternyata begitu singkat dibandingkan dengan waktuku saat masih sendiri disini. Aku sadar betul, jika suatu perjumpaan akan dipertemukan dengan tahap perpisahan - yang mungkin akan kembali membawa ke pertemuan berikutnya, mungkin. Aku harus meninggalkan pulau yang indah ini terlebih dahulu karena tugasku yang sudah selesai. Sementara Adam masih ada tiga bulan ke depan sebelum ia harus kembali ke kampung halamannya. Kami berbagi nomor handphone kami masing - masing sebelum akhirnya benar - benar berpisah.

Kucari kembali nomor di buku kontak hape. Mudah - mudahan nomor itu masih tersimpan mengingat sudah berkali - kali ganti hape -bukan karena konglomerat yang ganti hape tiap kali ada hape dengan fitur baru muncul, resiko sebagai orang yang klowor dan tledor sehingga banyak menelan korban hape, apa itu masuk ke air apa jatuh lah, sampe bosen dompetku ini untuk mengingat kembali hal - hal tersebut.

"Wuuooooohhh, yess, yess.....", sontak keluar begitu saja dari mulutku.

Nomor hape temanku itu ternyata masih ada tersimpan dalam buku kontak. Ini mungkin sebagai pertanda awal perjalanan ke depan yang kembali harus kunikmati. Ya, waktu kemarin itu - yang sangat sulit kubedakan antara mimpi dan benar - benar nyata - disana ada Adam yang membawa Niluh dalam pandangku. Aku menganggap itu bukanlah sekedar mimpi, akan ada hal yang benar - benar nyata di depan nanti. Itulah yang tertanam dalam pikiran ini yang sedang mencari pembenaran. Dari Adam inilah langkah awalku untuk mencoba mencari pembelaan dan dukungan atas pembenaran pikiranku sendirii.
Kubuka kontaknya, dan aku menelpon Adam.

"Halo kang?", sapaku mengawali dengan cukup mengambang untuk memastikan di ujung sana benar - benar kang Adam yang kumaksud.
"Wuehhh, Dino ya?", jawabnya bersemangat
"Iya kang", sambil menyeringai aku menjawabnya ringan
"Akhirnya No, Dino.....haahhh", terasa sekali hembusan nafas kelegaan di ujung sana
"Lho kok akhirnya kang, kenapa tho?", aku mulai sedikit bertanya dengan ekspresinya itu
"Akhirnya kamu ngehubungin aku No. Aku mau ngehubungin kamu dari dulu nggak bisa, hape ku ilang jadi semua kontaknya ilang juga, termasuk punya mu No...Hahahaha. akhirnya", begitu terasa bahagianya sampai ke tempatku
"Owalahhh, sorii kang aku baru bisa ngehubungi"....
"Ada apa emangnya No?...", Adam mulai bertanya.
"Eee, eee, itu kang, eee, njenengan itu punya temen cewe nggak yang namanya 'Niluh'?", tanyaku agak menggantung
"Seek, sekk No........", Adam terdiam sesaat, sepertinya ia mencoba mengingat - ingat beberapa nama teman - temannya
"Kayaknya nggak ada deh No...", jawab Adam dari ujung sana, dan kembali terdiam

Hembusan nafas kendur spontan keluar melalui mulutku. Pembenaran akan kejadian kemarin kembali mengisi monitor dalam pandangan maya ku.

"Niluh ya No? Eh ada No, ada temen SMP ku dulu yang namanya Niluh itu", suara Adam dari ujung sana yang kemudian membawaku melayang.
Aku hanya terdiam, kejadian itu mulai muncul kembali dalam setiap pandanganku. Suara Adam di ujung telepon yang memanggil - manggilku khawatir karena tak ada jawab mulai melirih hingga tak terdengar. Aku kembali dibawa dalam kejadian itu. Kejadian dimana mimpi dan nyata begitu terasa bedannya. Namun pikiran ini tak henti - hentinya menguatkan pembenaran untuk menyatakan kejadian tersebut.

"Yeaaaaa, ini pertanda!!!", tegasku bersemangat


Sabtu, 30 Mei 2015

Aku Niluh, Salam Kenal

Sejak pertemuan terakhir itu dengan Nuri. Perjalanan pertama dan juga perbincangan pertama yang ku buka dengannya, selalu terbayang raut wajah dengan bola mata yang besar. Bentuk muka yang tidak tirus namun tidak pula bulat. Pas. Gingsul itu membuatku merindu. Merindu disetiap kali ia mengucapkan kata. Setiap bukaan tawa yang keluar bersama pajangan gigi gingsulnya.
Waktu kemudian berlalu. Gambaran wajah itu pun kini mulai terasa memudar. Raut wajah penuh tawa dengan rona keceriaan itu mulai berbeda dari sebelumnya. Aku mulai takut gambaran wajah itu hilang dari pikiran dan bayang setiap kali ku membayang. Aku mulai mencari - cari beberapa gambaran wajah itu yang mungkin terekam sebelumnya. Stalking di beberapa akun media sosialnya juga kulakukan. Berharap, paling tidak raut wajah itu akan tetap tersimpan dalam pikir ini.
Ku lakukan kehidupanku yang cukup monoton seperti biasa. Bangun pagi dimana bagi ayam itu sudah sangat begitu kesiangan. Membenahi beberapa carut - marut ruangan semalam dengan melanjutkan untuk menyeka hasil tidurku semalam. Mulai kubenahi perlengkapan yang hendak ku bawa ke tempat kerja setelah mengganti baju. Mengayuh sepeda warna biru muda selama lima belas menit untuk ke tempat kerja. Waktu tempuhnya bisa menjadi sepuluh menit saja jika ku lewati jalan tikus yang memotong jalan raya. Begitulah seterusnya, diakhiri dengan pelaksanaan solat jumat diakhiri pula dengan pelaksanaan solat jumat.
Dan hari ini berbeda. Ada pesan masuk di hape ku. Kulihat nomor baru yang belum pernah disimpan dengan nama seseorang. Penampakannya begitu jelas, ada pesan masuk. Aku mulai memandanginya nomor itu perlahan dilanjutkan membuka pesannya.
"hai, aku Nuri. Kamu orang yang waktu itu kan?",

Dahulu temanku sempat menawarkan ku untuk dikenalkan dengan beberapa teman perempuannya. Ya paling tidak untuk menambah teman mengobrol katanya. Aku hanya bisa melayangkan tawa seperti biasanya tanpa jawab. Seperti itulah, aku masuk dalam kriteria laki - laki yang tidak punya keberanian dan juga kemampuan untuk memulai perbincangan dengan seorang perempuan, apalagi perempuan yang baru akan dikenalnya.
Malam kembali menjumpai. Begitu senang aku dengan malam. Menikmati setiap detik yang berlalu dalam malam - malam yang kujumpai. Dengan malam itulah aku bisa sedikit mendapatkan kebebasan yang dimiliki oleh setiap orang. Malam yang menjadi medium yang membatasi belenggu kebebasan. Karena dengan malam orang - orang mulai membatasi diri mereka sendiri yang sudah terbelenggu kebebasannya di siang hari. Disaat itulah, saat dimana seseorang dapat membebaskan batasan dirinya. Menikmati beralihnya waktu, beralihnya perjalanan rembulan mengudara mengkilapkan langit gelap itu.
Malam itu aku kembali bertemu dengan teman sepermainan yang sempat menawarkan untuk memperkenalkan temannya. Ada perempuan yang kemudian menghampiriku. Dia langsung saja menebar senyum manis dengan sedikit lekuk lesung pipitnya. Temanku Bams, yang sebelumnya ingin memperkenalkan beberapa temannya seketika pula muncul dan langsung menapuk bahu ku seperti biasa serta langsung duduk menyebelahiku.

"No, Dino, ini temenku", ucapnya sembari duduk di sebelahku.

Aku memandanginya bebera saat kemudian kembali kupalingkan. Kupandang lagi, dan lagi. Senyumnya kembali ia tawarkan. Merekah indah menyejukan pandangan yang mengalihkan. Entah bagaimana aku harus bersikap waktu itu.

"Aku Niluh, salam kenal", ucapnya, masih dengan senyum yang sama.

Kokok ayam mengudara membuyarkan senyum yang indah itu./dp

Jumat, 22 Mei 2015

Pertemuan yang Begitu Saja

Dan malam itu menjadi malam yang panjang hingga ayam mulai menggeliat bersama menyambut pagi. Perbincangan ringan yang muncul dari setadi sore tak ubahnya cemilan ringan menemani tontonan film kartun minggu pagi. Aku sedikit demi sedikit mencoba berani mengungkapan setidaknya beberapa hal yang mengisi hati sanubari. Kepada kamu.
Keputusanku untuk mencoba berani pada perbincangan yang lebih mengerucut tak lain karena kurasakan adanya sinyal. Respon positif yang dilayangkan dalam setiap kata - kata dalam obrolan denganmu membuat hati cukup berbunga. Sedikit meyakinkan akan sebuah peluang untuk langkah yang lebih dari sekedar langkahku menjalani pagi. Kuputuskan untuk sedikit mengungkapkan perasaanku.

Dan, pertemuanku yang sepintas waktu itu tak memberikan sinyal apapun pada sensor diri yang tingkat kepekaannya terlalu besar ini. Dia adalah Nuri. Perjumpaan bersamaya sekedar bertamu, berkunjung ke rumah teman yang masih dalam satu lingkup pekerjaan. Karena pekerjaan itulah yang menghantarkaku untuk berkunjung ke rumahnya. Dan Nuri ada disana, ketika aku hanya menghadapkan raut muka sepintas pada tatapan matanya yang bulat dan kembali ku tujukan obrolan dengan si empunya rumah.
Hingga obrolan itu belum berakhir, Nuri sudah terlebih dahulu meninggalkan riuh canda kami. Atau mungkin karena kedatanganku itulah berimbas pada segeranya Nuri untu beranjak pergi. Badan yang cukup, tidak pendek dan tidak pula terlalu tinggi. Wajah yang hanya samar-samar saja aku meihat, tapi terekam seluruhnya.

Hingga perjalanan membawa ku bertemu dengan Nuri. Pertemuan yang cukup menggelikan mengenang telah lalu sepertinya sempat berjumpa, meski hanya selayang pandang.
" Aku Dino", ujarku dengan uluran tangan mengharap jabatnya untuk yang pertama kali.
"Aku Nuri", sembari membalas dengan himpitan kedua telapak tangannya, sebagai tanda untuk menjaga kesucian dari wudhu disaat solat dhuhanya dan atau sebagai tanda kemuhriman kami yang belum satu muhrim.
Wajahnya menarik. Bola matanya tajam, bulat besar dengan segala keantusiasan akan kehidupan yang penuh dengan suatu makna perjalanan. Giginya yang sedikit gingsul menambah manis senyum yang disuguhkannya kepada siapapun yang dia sapa. Banyak senyum yang Ia layangkan. Obrolannya begitu dewasa, namun juga tak canggung untuk menggelar tawa dan berbagi cerita. Cerita perjalaan - perjalanan yang telah dilakukannya.
Ya, dia salah satu perempuan yang terbuka pada semesta. Mengeksplor segala hal yang ada disekitar dimana ia bekerja. Mencari tahu tempat - tempat yang sudah banyak direkomendasikan hingga tempat - tempat yang menarik yang belum banyak orang tahu. Merencanakan perjalanan yang sangat sering mendadak, melewatinya dan menikmati setiap perjalanan yang berlalu. Dari salah satu perjalaan itulah aku bertemu dengannya. Dan aku kembali tak menjumpainya setelah perjalanan itu berakhir.

Malam kembali datang. Semenjak obrolan kami di sepertiga malam itu yang cukup menarik dan syahdu dengan iringan rintik - rintik hujan yang enggan untuk menghabiskan isinya dengan seketika. Pelan, sedikit berbau romantis dan terkesan cukup menyeramkan untuk kondisi waktu yang telah larut kala itu serta tak ada tanda - tandanya untuk berhenti. Kali ini kamu yang membuka percakapan.
Demikianlah setidaknya beberapa tanda - tanda yang ku anggap sebagai sinyal. Tanda yang memberikan ku sedikit keberanian untuk membicarakan permasalahan yang lebih serius dari obrolan yang biasa kamu dan aku lakukan. Obrolan yang mungkin akan mengubah perbincangan kami di hari berikutnya. Bisa juga tak berdampak apapun pada rutinitas yang biasa kami lakukan setiap hari. 
Kamu kini menjadi begitu terbuka. Dengan kuantitas chat yang lebih banyak dari waktu sebelumnya. Membuat obrolan - obrolan semakin hidup dan berharap tak melewatkan sedikitpun hal untuk dibicarakan. Respon menjawabmu pun kini sudah tak lagi seperti maskapai penerbangan si garuda merah yang terkenal dengan ketelatannya. Ya, sekarang kamu bak pesawat dengan penerbangan paling pagi. Dimana ketepatan waktu menjad prioritas sekali dan sangat kecil prosentase keterlambatan untuk penerbangan pagi. Ketika aku menulis pesan, you're reading the message. Ketika aku mulai menjawab obrolanmu yang lain, you're writting a message.
Malam kemudian hanya berlalu. Si jago serasa terlalu dini untuk terjaga membunyikan nada yang mengudara menandakan waktu subuh sudah dekat. Hal seperti itu berulang di hari - hari berikutnya. Kamu semakin sering untuk membuka dan memulai percakapan. Memberikan salam di pagi hari. Melayangkan nasihat akan pekerjaan yang sedang dilakukan hari ini, dan semakin sering.

Pertemuanku dengan Nuri hanya di hari itu saja. Sudah lebih dari dua bulan berlalu tak ada tanda - tanda yang akan mempertemukan ku dengannya kembali. Bukannya aku tak sempat menanyakan dan meminta kontak pribadinya sehingga aku bisa melanjutkan mendengarkan cerita - cerita perjalanan yang telah dilaluinya, namun dia belum sempat memberikan atau mungkin tidak berkenan memberikan kontak pribadinya. Aku juga tidak begitu saja berhenti untuk melanjutkan pencarian akan informasi pribadinya. Sudah kutemukan beberapa akun Nuri di media sosial. Kutandai padanya bahwa aku exist. Sekedar itu saja. Ya, sekedar itu saja.
Dua kali pertemuanku dengan Nuri hanya terjadi begitu saja. Begitu saja aku mempercayakan pertemuanku kembali dengannya. Menyerahkan kepada sang waktu untuk pertemuan - pertemuan tak terencana di masa - masa selanjutnya. Kembali menikmati tawa yang ia hadirkan. Manis senyumnya dengan gingsul yang menganga di ujung geraham memaksa untuk membuyarkan segala kepenatan. Mendengarkan ceritanya membawaku menjadi salah satu tokoh dalam cerita itu. Membawaku kembali percaya pada sang waktu untuk membelok - belokan alur berlalunya kehidupan yang mengantarkan pertemuan ku dengan mu kembali./ad

Selasa, 19 Mei 2015

Mbak Ngajari Kamu Mbolos, Tapi

Tiga perempat. Karena yang satu itu hanya milik-Nya yang hanya satu.

Ketika masa berganti sementara musim pun beralih. Musim kemarau dan musim hujan tak lagi bisa dibedakan berdasarkan periode bulan seperti pelajaran sewaktu sekolah dasar (SD) dulu. Di bulan Maret kondisi sedang peralihan menuju kemarau, dengan intensitas hujan yang masih cukup tinggi. Tapi tak menghentikan minat dan niat rombongan kala itu untuk mendaki gunung. Gunung Prau di sekitaran Wonosobo, Jawa tengah.

Agenda melancong menyapa gunung yang sedikit terencana dan cukup banyak dadakan. Kami bersembilan dengan personil yang bisa ikut saja. Perjalanan yang ditempuh cukup jauh. Posisi start perjalanan dimulai dari kota Semarang yang akan dilanjutkan dengan perjalanan darat menggunakan sepeda motor menuju daerah Wonosobo. Karena bersembilan akan ada yang berkendara sendirian dari lima motor yang berangkat.
Berkumpulah rombongan yang bersembilan itu. Kami adalah Dias,Ius, Kun, Burhan, Andeng,Bima, Bela dan adik laki - lakinya, Fachri kalau tidak salah namanya. Rombongan kesembilanan dengan seorang srikandi yang memesona.

Hari itu aku lupa tepat harinya, tapi yang pasti hari kedua pendakian kami, saat kembali turun gunung itu adalah hari dimana adik laki-laki Bela akan ada ujian disekolahnya. Ya, anak laki - laki termuda di rombongan itu masih kelas 2 SMP dan akan mengikuti ujian tengah semester di sekolahnya. Hari dimana ia sedang melakukan perjalanan pulang dari pendakian pertamanya pada paku - paku bumi yang Tuhan ciptakan.

Bukan perkara yang instan dan juga tidak terlalu rumit untuk keberangkatan Fachri mengikuti pendakian pertamaya itu. Ajakan yang menggiurkan dari Kakak Srikandinya itu membebaskan tanggungan ujiannya esok hari. Terlebih Kakak yang begitu ngayom dan membanggakan adiknya ini meng-guaranted-kan dirinya untuk memberikan dukungan demi mendapatkan ijin dari orang tuanya, orang tua mereka berdua. Dengan beberpa pertimbangan, orang tua mereka mengijinkan Bela beserta adiknya Fachri yang akan mengikuti ujian, untuk mengkuti pendakian gunung Prau. Mengijinkan untuk membolos.

Kala itu merupakan pendakian pertamaku bersama Srikandi yang membawa serta adik laki - lakinya ini. Kami sampai dipuncak tengah malam karena posisi start kami sudah cukup larut. Tiga tenda kami siapkan. Dua tenda berisikan masing - masing 4 orang dan satu tenda untuk Srikandi.

Cahaya merah kekuning - kuningan sudah mulai nampak dan cukup menyilaukan mata untuk segera beranjak keluar dari dalam tenda. Bela, si Srikandi ini sudah segar berdiri tepat di depan tenda adik laki - lakinya. Dia membangunkan adiknya untuk menikmati mentari pagi yang masih malu - malu di bawah horizon di pendakian pertamanya. Dan tujuan sebenarnya, membangunkannya untuk segera melaksanakan solat subuh.
Mbak emang ngajari kamu mbolos ujian, mbolos sekolah, tapi Mbak gak ngajari kamu buat gak solat gara-gara naik gunung !, ujarnya pada adik laki - lakinya
Banyak memang orang yang terkadang melupakan apa yang seharusnya dilakukan dengan mengalasankan berbagai kondisi yang ada. Namun tak sedikit pula orang yang begitu sadar akan pelaksanaan kewajibannya terhadap Tuhan yang telah menciptakan paku - paku besar untuk mereka jalani hingga puncak tertingginya. Dan seperti itulah makna yang nantinya akan didapatkan dari setiap perjalanan bertafakur dengan alam semesta.

Lelaki paling muda dalam rombongan itu pun hanya terdiam dengan nasihat dari Kakak tercintanya. Sesegeranya pula Ia beranjak melakukan Tayamum untuk membersihkan diri dari hadast kecil dan melaksanakan solat subuhnya./ad