Jumat, 05 Juni 2015

Menanggalkan Kantuk, Untuk Bekalku

#03

Malam kembali.
Begitulah. Sekali lagi kembali pada  malam lagi. Karena malam adalah menjadi salah satu tempatku berbagi. Berbagi kebahagiaan, atas kebebasan.

Perjalananku mengunjungi sahabat menggunakan moda transportasi umum negeri ini membawa banyak cerita. Cerita yang sangat berharga untuk aku lewati begitu saja. Cerita yang memberikan donasi akan wawasan kepemikiran yang lebih luas. Memikirkan, menyangka dan menyikapi suatu hal dilibatkan analogi persepsi dari segala sisi yang saling menguatkan  kebenarannya masing - masing. Menyimpulkan keseluruhan persepsinya dalam satu keputusan yang paling bijak.
Dalam perjalanannya seiring kemudian, aku seakan merasa menjad orang yang dibawah. Terlalu banyak hal - hal yang terus menguji kehidupan yang dilalui. Setiap uji pun tak hanya berhenti di satu waktu saja. Kelanjutan sebagai efek dari reaksi berantai dari masalah yang ada menjadikan bahan uji yang baru.

Setelah kehilangan buku bacaan di ATM di area stasiun membuatku memunculkan berbagai prasangka. Semua itu sangat cukup membuat penuh pikiran yang sudah terlalu sering terhipnotis tanpa arah. Akhirnya kuputuskan untuk membeli baru buku yang sedang kubaca itu - buku yang hilang. Dengan begitu mengalihkan prasangka yang cukup bisa diterima oleh 'sisi baik'.

"Kubeli saja lagi, mudah - mudahan yang ngambil juga orang yang hobi baca dan bisa berbagi bacaan dengan orang lain", begitu saja kupaksa melewatinya.

Tak berlama - lama aku terpaku dengan masalah itu. Kumulai menatap jauh mengikuti arah penanda jalan keluar dari stasiun. Dilaluinya jalan keramaian orang - orang yang lalu lalang disana. Salip kanan, potong kiri, terobos dari tengah - tengah dan manuver kemana - mana agar tetap sesegera mungkin keluar dari keramaian tanpa mengganggu (red : menabrak) pengguna jalan lain. Angkot jadi fokus utama mataku ini.
Kereta terakhir hari itu. Sudah larut? Ya, pasti! Sudah sepi penumpang pastinya?! Anda keliru. Orang - orang masih berbondong - bondong di kloter akhir dari perjalanan kereta mereka. Seolah menggambarkan gairah dinamis dari kehidupan yang melingkupi kehidupan manusia dalam dunia ini. Angkot - angkot metromini sudah siap melayani di bibir akhir jalur bagi pejalan kaki yang disediakan oleh pihak stasiun. Untuk kembali pulang.

"Bang, ke Sukasari", sapaku.
"Ayo mangga, masuk", jawab supir metromini dengan selanjutnya meminta penumpangnya untuk merapatkan tempat duduk dan memberi sedikit tempat untukku.

Perjalananku pulang pada kloter commuter terakhir tak memberikan pembeda pada jumlah penumpang di metromini yang masih saja berhimpitan. Hanya jalan saja yang begitu lengang untuk si sopir memacu kendaraanya. Jadi dapat menghemat waktu tempuh dibandingkan dengan keadaan pagi dan sore hari saat jam berangkat dan pulang kerja.
Sebelu sampai di Sukasari, mikrolet melewati sebuah pasar yang menjorok ke jalan - jalan. Jam tangann menunjukan tinggal kurang dari lima belas menit menuju pukul satu dinihari. Di jalan itu bukanlah pasar bubrah atau pun pasar setan seperti yang ada di lembah - lembah pegunungan. Tapi ini real pasar. Orang - orang yang saat itu sedang lalu - lalang di pasar adalah orang sungguhan, bukan jadi - jadian. Sama sekali bukan.
Ya begitulah. Kadang aku merasa menjadi orang yang begitu terlalu bekerja keras dalam menjalani hidup. Seakan tak ada yang lebih pedih dari keadaan yang menimpa. Kerja keras yang dilalui tiap harinya untuk menghidupi diri, setiap tetes keringat yang kemudian terkonversi menjadi koin perak yang menghadirkan sesuap nasi untuk terbakar dalam tubuh. Hal itu yang kemudian membuatku terlalu memandang cetek hidup ini. Terlalu banyak orang yang lebih beruntung dibandingkan ku sendiri.
Di sepanjang jalan itu aku mulai memandang jauh sekitaran. Waktu seakan terjadi lag antara waktu yang kujalani dan waktu bagi mereka berlalu. Aku dapat memandang setiap detil yang terjadi dalam pasar itu. Bapak - bapak yang dengan jeli memilah - milah bahan sayuran, beberapa orang sibuk membongkar karung - karung sayur dar kendaraan coak - pick up, beberapa lagi memasukannya ke dalam kendaraan milik mereka sendiri yang mungkin nantinya akan didistribuskan ke daerah lain.
Aku merasa paling bekerja keras, padahal dikala aku sedang pulas menikmati tidur dan mengimaji segala mimpi di luar sana ada banyak orang yang menanggalkan selimut mereka, mencoba memeras keringat dalam dinginnya udara tengah malam demi sesuap nasi dan bekal untuk anak - anak mereka bersekolah di kala mentari nantinya menyingsing. Mencoba menanggalkan kantuk untuk dapat memberi penghidupan pada keluarga mereka dan juga untuk menghidupi tiap - tiap sesamannya yang sejatinya harus hidup.
Ketika dapat memandang segalanya lebih luas, dari berbagai sisi, aku mulai mendapatkannya sebuah kenikmatan dalam diri. Biasanya kutandai dengan senyum - senyum sendiri./ad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar