Senin, 15 Juni 2015

Senyum Itu, Sekar

#04

Seperti malam yang lalu. Kali ini kembali kuhabiskan waktu untuk sekedar menaiki transportasi umum dan murah dari Bogor ke Jakarta. Pelancongan sore itu juga tidak terencana sama sekali. Saat matahari mulai menyingsing memerahkan awan putih tebal di sepanjang horizon, aku pun memutuskan untuk segera beranjak sebelum gela benar - benar membuatku malas.
Begitulah, aku lebih suka dengan keramaian dalam transportasi umum. Aku juga lebih nyaman dengan sepinya trasportasi umum daripada harus duduk menjamur di dalam kamar. Membuka mata selebar - lebarnya menatap luas keluar ruangan. Hal itu yang membuatku merasa lega. Terkungkung membuat pikiran yang sudah lama dipingit terasa semakin sesak. Beralih ke luar ruangan, ke tempat yang berbeda maupun baru akan lebih menggelorakan jiwa.
Aku mulai sering membaca buku. Dan aku begitu senang mecari - cari tempat baru untuk menghabiskan waktu hanya untuk sekedar membaca buku. Perjalanan panjang antar kota di jalanan metropolitan tak sepenuhnya menyebalkan. Apalagi dengan ditambahnya dengan acara bermacet - macet ria di bawah teriknya matahari yang melumerkan aspal jalanan. Namun ada klik kecil yang menjadi ajang untuk ku bersenang - senang. Menghabiskan setiap lembar demi lembaran buku.
Dibandingkan dengan kota - kota di pulau sebrang yang penuh kepastian di jalan, kemacetan ibukota memiliki nilai lebih. Sebagai gambaran saja di Kota - kabupaten Banjarbaru di Kalimantan selatan sana. Di sana waktu tempuh untuk pergi ke kota sebelah maupun kota yang sebelahnya lagi memiliki durasi yang sama di setiap waktunya. Pasti. Banjarbaru ke ibukota Kalimantan selatan - ke Banjarmasin sudah pasti akan ditempuh dalam rentang waktu 40 - 60 menit saja, di segala waktu. Lain dengan d metropolitan dimana waktu tempuh perjalanan di jam - jam tengah hari dengan di sore hari akan memberikan selisih waktu yang cukup signifikan. Waktu yang lama terbuang di kendaraan umum itulah waktu yang aku gunakan untuk bersenang - senang membunuh waktu dengan membaca buku.
Commuter line atau kereta listrik yang ada di jalur Jabodetabek sudah semakin nyaman. Menjadi tempat yang cukup menarik untuk kujadikan ajang merampungkan lembar terakhir buku - buku yang belum selesai kubaca. Banyak penumpang juga yang begitu pulas tertidur dengan semilir hembusan udara pendingin. Anak - anak kecil pun turut meramaikan gerbong KRL yang memang sedari tadi sudah rame. Tak tampak rasa khawatir dari wajah mereka.

Aku pulang terlalu larut. Mencoba mengejar pemberangkatan kereta terakhir dari Jakarta untuk tujuan akhir Bogor. Lebih dari jam sebelas malam kereta untuk jurusan Depok - yang nantinya bisa transit dari Depok untuk mereka yang memiliki tujuan akhir di stasiun Bogor - akhirnya datang. Gerbong begitu sepi, karena ini kereta paling malam yang mengantarkan penumpang dari Jakarta ke Bogor.
Ada seorang cewek tinggi semampai - sedikit lebih tinggian aku. Putih, dengan rambut terkuncir ke belakang dengan sedikit bercak bekas jerawat di mukannya. Sepatunya anggun dengan balutan celana jeans hitam beserta jaket putih dengan logo garuda di dada sebelah kirinya. Kulewati saja untuk mencari gerbong yang masih menyisakan tempat duduk yang masih lapang untuk sedikit meluruskan kaki.

Kembali kuposisikan badan ini untuk menikmati bacaan buku yang kubawa. Kaki sedikit selonjor menjadi terapi kecil untuk sekedar ajang rehat kedua kaki ini. Tak lama kemudian semakin penuh di dalam gerbong KRL tersebut. Dan mereka banyak yang turun di stasiun transit untuk melanjutkan perjalanan dengan rute yang berbeda sesuai dengan tujuan kepulangannya.
Saat kereta sampai di stasiun akhir hanya bersisa sepertiga bagian dari keseluruhan buku yang belum sempat kubaca.
Aku kembali berganti dengan angkot hijau dengan tujuan Sukasari. Kemudian nanti harus berganti lagi dengan angkot lain untuk sampai tujuan. Angkot masih ngetem menunggu penumpang sedikit memenuhi tempat duduk di belakang kemudinya. Masuklah seorang cewek yang tadi sempat kuperhatikan sejenak di dalam gerbong KRL. Ini cewek yang tadi kan? tanyaku dalam hati. Jaket putih dengan list merah di lengan panjangnya dan logo garuda yang menempel di dada sebelah kiri semakin kentara. Sepertinya dia salah satu atlit dalam kejuaraan antar propinsi , lagi ungkapku dalam hati.
Telapak dan bagian punggung tangannya semakin jelas putih dipandang  dari dekat. Jemarinya lentik, kecil dengan panjang yang cukup beserta kuku yang mucuk eri. Rambutnya masih dikuncir sehingga nampak sekali eksistensinya sebagai seorang atlit wanita. Tak banyak bicara. Hanya sesekali menolehkan pandangnya ke arahku. Sembari bebrapa sering aku mencoba sekilas memandang raut wajahnya.
Dia dan aku sama - sama turun di Sukasari untuk berganti angkot karena angkot hijau tadi trayeknya hanya sebatas itu. Jam tangan sudah mulai beranjak di pukul 02.00 dini hari. Angkot lain dengan tujuan Cisarua sudah ada di depan - angkot yang manjadi pengantarku selanjutnya. Aku kembali memandang cewek tadi, Ia juga sepertinya menggunakan angkot yang sama. Entah kenapa aku langsung saja masuk ke dalam angkot yang penumpangnya sudah tak ideal lagi. Berhimpit - himpitan antar pinggul di dalam sana. Sementara kupandang keluar, cewek tadi masih di luar menunggu untuk angkot berikutnya datang. Dia sendirian. Kemudian kemudi pun mulai bergerak.
Kenapa aku ini masuk begitu saja dalam angkot ini, sementara di luar tadi ada cewek yang harus menunggu angkot di jam - jam segini sendirian. Apapula memaksakan diri berjubel dengan penumpang lain disini. Kenapa tadi tidak turun untuk sekedar menemani menunggu angkot dari pada Ia harus sendirian? Apakah tidak apa - apa baginya untuk menunggu sendirian diwaktu yang mulai menjelang pagi?aahhhh, goblogg, goblog, goblog.....Lagi, kebodohan terulang dan kembali terlambat untuk sadar. Gumaman dalam hati sembari memandang ke belakang angkot yang sudah melaju jauh. Mata ini tak lepas menatap ke belakang, berharap akan ada angkot rute yang sama dimana Ia sudah ikut di dalamnya, tak lagi menunggu.
Kembali lagi. Carut marut rasa bersalah masih menggondok. Tak mau pergi. Kenapa kok aku goblog terus?Kok tega tak tinggalin sendiri? Kembali meronta di dalam hati. Memang demikian, cewek itu bukanlah siapa - siapa, tahu nama pun tidak, menatap wajahpun hanya sepintas mencuri - curi pandang. Namun rasa bersalah sebagai seorang laki - laki yang membiarkan perempuan untuk menunggu angkot sendirian dalam sepinya dini hari tek membuatku tenang di dalam angkot meskipun Ia bukan seseorang yang aku kenal.
Terlalu banyak gumaman dalam hati membuatku tak sadar hanya tinggal aku sendiri dalam angkot itu sesampainya di Ciawi. Tak ada lagi penumpang lain yang hendak naik ke Cisarua. Sopir angkot tak serta merta menurunkan ku disitu. Meski aku tahu angkot ini hanya mengantarku sampai di sini saja karena masih cukup jauh jikalau hanya membawa satu orang penumpang saja. Sopir masih me-ngetem-kan kendaraannya hingga tiba angkot dengan trayek yang sama membawa tiga orang penumpang.

"Mas ikut depan ya...", ucap akang sopir memintaku untuk berpindah angkot.
"Iya, suwun kang...", balasku sembar berjalan ke angkot yang dimaksud.

Aku buru - buru masuk ke dalam angkot karena sepertinya angkot tidak berniat untuk menunggu penumpang lain. Seketika itu aku tertegun. Diam menunduk menuju tempat duduk di bagian dalam. Cewek tadi ada disana. Kurasakan kelegaan dalam hati, mengingat Ia tak apa - apa. Sedemikian itu pula pandang ini tak sanggup menengadah mengingat diri ini sebagai pengecut. Aku kembali diam. Begitu juga Dia. Diam seperti sebelumnya dan mulai sedikit memalingkan arah pandangnya.

"Soriii yang tadi...", tiba - tiba kata itu keluar begitu saja. Ia kemudian hanya memalingkan wajahnya kepadaku.
"Kenapa?...", tanyanya sambil sedikit menajamkan mata
"Tadi kutinggal nunggu sendirian....soriii"....
Seberkas senyum keluar dari wajah putihnya dengan sedikit riasan bercak bekas jerawat.
"Iya, nggak papa...", ucapnya kemudian.

Aku kembali terdiam kaget, dengan apa yang telah kulakukan tadi.

"Aku Dino....", lanjutku memperkenalkan diri
"Aku Sekar....." jawabnya dengan senyum yang lebih lebar dari senyumnya tadi...

Henti angkot pun mengakhir percakapanku dan Dia pagi itu./ad

Jumat, 05 Juni 2015

Menanggalkan Kantuk, Untuk Bekalku

#03

Malam kembali.
Begitulah. Sekali lagi kembali pada  malam lagi. Karena malam adalah menjadi salah satu tempatku berbagi. Berbagi kebahagiaan, atas kebebasan.

Perjalananku mengunjungi sahabat menggunakan moda transportasi umum negeri ini membawa banyak cerita. Cerita yang sangat berharga untuk aku lewati begitu saja. Cerita yang memberikan donasi akan wawasan kepemikiran yang lebih luas. Memikirkan, menyangka dan menyikapi suatu hal dilibatkan analogi persepsi dari segala sisi yang saling menguatkan  kebenarannya masing - masing. Menyimpulkan keseluruhan persepsinya dalam satu keputusan yang paling bijak.
Dalam perjalanannya seiring kemudian, aku seakan merasa menjad orang yang dibawah. Terlalu banyak hal - hal yang terus menguji kehidupan yang dilalui. Setiap uji pun tak hanya berhenti di satu waktu saja. Kelanjutan sebagai efek dari reaksi berantai dari masalah yang ada menjadikan bahan uji yang baru.

Setelah kehilangan buku bacaan di ATM di area stasiun membuatku memunculkan berbagai prasangka. Semua itu sangat cukup membuat penuh pikiran yang sudah terlalu sering terhipnotis tanpa arah. Akhirnya kuputuskan untuk membeli baru buku yang sedang kubaca itu - buku yang hilang. Dengan begitu mengalihkan prasangka yang cukup bisa diterima oleh 'sisi baik'.

"Kubeli saja lagi, mudah - mudahan yang ngambil juga orang yang hobi baca dan bisa berbagi bacaan dengan orang lain", begitu saja kupaksa melewatinya.

Tak berlama - lama aku terpaku dengan masalah itu. Kumulai menatap jauh mengikuti arah penanda jalan keluar dari stasiun. Dilaluinya jalan keramaian orang - orang yang lalu lalang disana. Salip kanan, potong kiri, terobos dari tengah - tengah dan manuver kemana - mana agar tetap sesegera mungkin keluar dari keramaian tanpa mengganggu (red : menabrak) pengguna jalan lain. Angkot jadi fokus utama mataku ini.
Kereta terakhir hari itu. Sudah larut? Ya, pasti! Sudah sepi penumpang pastinya?! Anda keliru. Orang - orang masih berbondong - bondong di kloter akhir dari perjalanan kereta mereka. Seolah menggambarkan gairah dinamis dari kehidupan yang melingkupi kehidupan manusia dalam dunia ini. Angkot - angkot metromini sudah siap melayani di bibir akhir jalur bagi pejalan kaki yang disediakan oleh pihak stasiun. Untuk kembali pulang.

"Bang, ke Sukasari", sapaku.
"Ayo mangga, masuk", jawab supir metromini dengan selanjutnya meminta penumpangnya untuk merapatkan tempat duduk dan memberi sedikit tempat untukku.

Perjalananku pulang pada kloter commuter terakhir tak memberikan pembeda pada jumlah penumpang di metromini yang masih saja berhimpitan. Hanya jalan saja yang begitu lengang untuk si sopir memacu kendaraanya. Jadi dapat menghemat waktu tempuh dibandingkan dengan keadaan pagi dan sore hari saat jam berangkat dan pulang kerja.
Sebelu sampai di Sukasari, mikrolet melewati sebuah pasar yang menjorok ke jalan - jalan. Jam tangann menunjukan tinggal kurang dari lima belas menit menuju pukul satu dinihari. Di jalan itu bukanlah pasar bubrah atau pun pasar setan seperti yang ada di lembah - lembah pegunungan. Tapi ini real pasar. Orang - orang yang saat itu sedang lalu - lalang di pasar adalah orang sungguhan, bukan jadi - jadian. Sama sekali bukan.
Ya begitulah. Kadang aku merasa menjadi orang yang begitu terlalu bekerja keras dalam menjalani hidup. Seakan tak ada yang lebih pedih dari keadaan yang menimpa. Kerja keras yang dilalui tiap harinya untuk menghidupi diri, setiap tetes keringat yang kemudian terkonversi menjadi koin perak yang menghadirkan sesuap nasi untuk terbakar dalam tubuh. Hal itu yang kemudian membuatku terlalu memandang cetek hidup ini. Terlalu banyak orang yang lebih beruntung dibandingkan ku sendiri.
Di sepanjang jalan itu aku mulai memandang jauh sekitaran. Waktu seakan terjadi lag antara waktu yang kujalani dan waktu bagi mereka berlalu. Aku dapat memandang setiap detil yang terjadi dalam pasar itu. Bapak - bapak yang dengan jeli memilah - milah bahan sayuran, beberapa orang sibuk membongkar karung - karung sayur dar kendaraan coak - pick up, beberapa lagi memasukannya ke dalam kendaraan milik mereka sendiri yang mungkin nantinya akan didistribuskan ke daerah lain.
Aku merasa paling bekerja keras, padahal dikala aku sedang pulas menikmati tidur dan mengimaji segala mimpi di luar sana ada banyak orang yang menanggalkan selimut mereka, mencoba memeras keringat dalam dinginnya udara tengah malam demi sesuap nasi dan bekal untuk anak - anak mereka bersekolah di kala mentari nantinya menyingsing. Mencoba menanggalkan kantuk untuk dapat memberi penghidupan pada keluarga mereka dan juga untuk menghidupi tiap - tiap sesamannya yang sejatinya harus hidup.
Ketika dapat memandang segalanya lebih luas, dari berbagai sisi, aku mulai mendapatkannya sebuah kenikmatan dalam diri. Biasanya kutandai dengan senyum - senyum sendiri./ad

Selasa, 02 Juni 2015

Kang, maaf bukunya

#02

Malam.
Karena malam itu sangat kusukai. Malam adalah batas dari orang pada umumnya menggunakan kebebasan mereka. Bagiku, malam itulah kebebasan.

Perhentianku kini berada di kota hujan. Kota bogor dengan kepopulerannya bersama macet saat akhir pekan datang. Urban dari ibukota negara beralih menuju kota ini disaat liburan. Tak ayal meskipun sudah buka-tutup jalur tetap saja padat sangat merayap, malah bahkan macet sama sekali tak bergerak. Tentu saja kondisi seperti ini yang sangat sering dan akhirnya menjadi maklum dengan hal yang namanya macet. Maklum karena memang sudah biasa. Tak begitu menjadi masalah, asalkan bukan kesalahan yang sangat sering sehingga menjadi maklum yang berkelanjutan.
Perjalananku diiringi dengan transportasi umum. Aku berencana ke ibukota bumi pertiwi ini menggunakan commuter. Transportasi yang memiliki jalur monopoli ini sudah cukup nyaman di negeri ini. Sebelum ke stasiun tempat transportasi ini berada aku menggunakan metromini alias angkot lokal yang begitu banyak di kota Bogor. Bahkan sampai ada temenku yang bilang kalau Bogor sekarang memiliki julukan lain setelah kota hujan, yaitu kota angkot. Bagi pemula di kota ini juga tak perlu begitu khawatir. Kalau lah memang tidak tahu angkot trayek mana yang harus dinaiki, tinggal tanya saja ke akang supir angkotnya. Mereka, si akang ini akan mengarahkan dan sedikit memberi saran untuk sampai tujuan.

Aku masuk ke ruang Anjungan Tunai Mandiri untuk mengambil uang cash. Uang yang aku gunakan untuk membeli saldo di kartu tiket elektronik yang digunakan untuk mengakses fasilitas commuter. Beberapa ratus ribu juga aku ambil untuk pegangan di ibukota dan selanjutnya mengantri barisan untuk membeli saldo. Setelah dapat giliran bergegas aku langsung memasuki portal tiketing untuk menuju lokasi kereta. Tiba - tiba teringat ada sesuatu yang tertinggal saat aku mengambil uang tunai tadi. Ya, tadi aku membawa sebuah buku untuk baacaanku di dalam kereta. Aku beranjak keluar lagi untuk kembali ke ruangan ATM. Dan bukunya sudah tidak ada.
Bukunya hilang. Sedikit menyesal, pasti. Karena aku sedang asik menikmati buku itu dari tiap - tiap pembahasan materinya. Dan harus terhenti sampai disana tanpa meyelesaikan buku tersebut. Padahal buku itu sangat menarik bagiku sendiri. Tak apa lah. Kuharapkan saja yang mengambil itu seorang penikmat buku juga. Jadi buku tersebut bisa menjadi salah satu penghibur di setiap perjalanan hidupnya. Dengan harapan lebih, setelahnya selesai dengan buku itu bisa menghubungi email yang pernah kutulis di buku itu. Lebih bersyukur lagi jika nantinya buku itu dikembalikan lagi ke orang yang punya.
Aku lalu saja. Kembali melanjutan niatku untuk bertamu ke ibukota. Dan tak sendirian saja ternyata yang sangat cinta dengan ibukota negeri ini. Berhuyung - huyung dan berbondong - bondong orang dimana - mana memenuhi jalanan menuju perhentian kerete api. Keramaian orang - orang ini menyamarkan suara petugas commuter yang mengumumkan kereta yang datang dan tujuan pergi dari masing - masing kereta di jalurnya. Sembari ada orang yang sepertinya memanggil - manggil. Tak lama berselang ada yang menepuk bahuku.

"Kang, maaf bukunya tadi ketinggalan di ATM", ringan mengambang suaranya yang juga dibarengi mengulurkan tangan menyodorkan buku yang tadi kubawa, yang tadi kucari.

Mulaiah kambuh lagi. Aku tertegun memandang penuh perempuan dengan suara yang ringan itu.

Senin, 01 Juni 2015

Pertanda Itu Benar

#01

Ya, dia Niluh. Nama itu yang diucapkan olehnya sebelum akhirnya Ia benar - benar pergi. Perjumpaanku saat itu hanya sebentar saja, Bahkan pertemuanku dengannya itu lebih nampak seperti sebuah mimpi. Tapi aku tak pernah menganggapnya sebagai mimpi. Meskipun di dalam hati berkata sebaliknya.
Impresi pertama  yang aku dapat darinya begitu ringan. Sesuai dosis, tidak kurang tak pula melebihi komposisi yang seharusnya. Dia membuka dengan obrolan yang ringan. Suaranya lirih gurih seperti nasi uduk hangat di pagi hari. Dia memulai perkenalan pertamanya begitu spontan dengan senyum terkembang yang pantas untuk disandingkan dengan misteriusnya senyuman monalisa.

Pencarian itu ku mulai dengan menanyakan langsung kepada temanku yang mengenalkannya. Adam, teman jauh ku yang dulu pernah hidup bersama untuk beberapa kurun waktu. Hidup dalam kesendirian membuatku tak ada pilihan lain untuk mencoba mencari kawan. Buatku bukanlah hal yang mudah untuk mencoba terbuka dengan orang lain yang belum sama sekali dikenal. Bahkan untuk orang yang sudah cukup aku kenal, masih ada kecanggungan untuk memulai obrolan. Tak ada pilihan lain, kucoba membuka diri dengan orang baru ini, Adam.

"Hhh,hei,.... eee, aku Dino", bukaku dengan sdikit terbata - bata.
"Ohh, ya, aku Adam. Salam kenal. Aku dari Jawa", jawabnya seketika dengan begitu ringan.
"Lho kok sama, ak yo Jowo", entah kenapa mulut yang biasanya kaku ini begitu licin di pulau orang hanya karena tahu kalau kami berasal dari satu pulau yang sama.

Senyumku mulai mengembang. Perbincangan itu pun kian meluas tentang segala hal. Bercerita kampung halaman masing - masing. Berbagi hal yang dilakukannya di tempat yang cukup baru ini. Begitulah, tempat yang jauh dari kampung halaman dan kesendirian yang saat itu menemani disetiap bergantinya waktu mengubahku menjadi seseorang yang berbeda. Entah itu lebih baik atau lebih buruk atau bahkan sama saja. Entahlah, aku tidak cukup mahir untuk menilai diri.
Perjumpaanku dengan Adam di pulau Alor itu berlanjut hingga kurun waktu tiga bulan ke depan. Ya sesuai dengan rencana perjalananku untuk mereview indahnya salah satu pulau di bagian timur Indonesia ini. Kami berdua memutuskan untuk mencoba mencari satu rumah untuk kami kontrak beberapa bulan ke depan dari pada harus kos per kamar. Tentu dengan pertimbangan cost dari masing - masing pilihan tersebut. Dapatlah kami dengan salah satu rumah milik om Gab yang harganya memungkinkan untuk kami.
Tiga bulan bersama Adam membuat kami cukup mengenal beberapa dari kami satu sama lain. Dulu yang aku rasa untuk melewati satu hari saja di pulau itu terasa begitu lama. Seakan waktu tak berubah. Untuk berganti dari matahari yang masih condong membesarkan pasak, tak kunjung merubah bayang tersebut menjadi ukuran yang lebih kecil. Dan kebersamaan mengubah banyak hal. Diantaranya waktu. Waktu tiga bulan bersamanya ternyata begitu singkat dibandingkan dengan waktuku saat masih sendiri disini. Aku sadar betul, jika suatu perjumpaan akan dipertemukan dengan tahap perpisahan - yang mungkin akan kembali membawa ke pertemuan berikutnya, mungkin. Aku harus meninggalkan pulau yang indah ini terlebih dahulu karena tugasku yang sudah selesai. Sementara Adam masih ada tiga bulan ke depan sebelum ia harus kembali ke kampung halamannya. Kami berbagi nomor handphone kami masing - masing sebelum akhirnya benar - benar berpisah.

Kucari kembali nomor di buku kontak hape. Mudah - mudahan nomor itu masih tersimpan mengingat sudah berkali - kali ganti hape -bukan karena konglomerat yang ganti hape tiap kali ada hape dengan fitur baru muncul, resiko sebagai orang yang klowor dan tledor sehingga banyak menelan korban hape, apa itu masuk ke air apa jatuh lah, sampe bosen dompetku ini untuk mengingat kembali hal - hal tersebut.

"Wuuooooohhh, yess, yess.....", sontak keluar begitu saja dari mulutku.

Nomor hape temanku itu ternyata masih ada tersimpan dalam buku kontak. Ini mungkin sebagai pertanda awal perjalanan ke depan yang kembali harus kunikmati. Ya, waktu kemarin itu - yang sangat sulit kubedakan antara mimpi dan benar - benar nyata - disana ada Adam yang membawa Niluh dalam pandangku. Aku menganggap itu bukanlah sekedar mimpi, akan ada hal yang benar - benar nyata di depan nanti. Itulah yang tertanam dalam pikiran ini yang sedang mencari pembenaran. Dari Adam inilah langkah awalku untuk mencoba mencari pembelaan dan dukungan atas pembenaran pikiranku sendirii.
Kubuka kontaknya, dan aku menelpon Adam.

"Halo kang?", sapaku mengawali dengan cukup mengambang untuk memastikan di ujung sana benar - benar kang Adam yang kumaksud.
"Wuehhh, Dino ya?", jawabnya bersemangat
"Iya kang", sambil menyeringai aku menjawabnya ringan
"Akhirnya No, Dino.....haahhh", terasa sekali hembusan nafas kelegaan di ujung sana
"Lho kok akhirnya kang, kenapa tho?", aku mulai sedikit bertanya dengan ekspresinya itu
"Akhirnya kamu ngehubungin aku No. Aku mau ngehubungin kamu dari dulu nggak bisa, hape ku ilang jadi semua kontaknya ilang juga, termasuk punya mu No...Hahahaha. akhirnya", begitu terasa bahagianya sampai ke tempatku
"Owalahhh, sorii kang aku baru bisa ngehubungi"....
"Ada apa emangnya No?...", Adam mulai bertanya.
"Eee, eee, itu kang, eee, njenengan itu punya temen cewe nggak yang namanya 'Niluh'?", tanyaku agak menggantung
"Seek, sekk No........", Adam terdiam sesaat, sepertinya ia mencoba mengingat - ingat beberapa nama teman - temannya
"Kayaknya nggak ada deh No...", jawab Adam dari ujung sana, dan kembali terdiam

Hembusan nafas kendur spontan keluar melalui mulutku. Pembenaran akan kejadian kemarin kembali mengisi monitor dalam pandangan maya ku.

"Niluh ya No? Eh ada No, ada temen SMP ku dulu yang namanya Niluh itu", suara Adam dari ujung sana yang kemudian membawaku melayang.
Aku hanya terdiam, kejadian itu mulai muncul kembali dalam setiap pandanganku. Suara Adam di ujung telepon yang memanggil - manggilku khawatir karena tak ada jawab mulai melirih hingga tak terdengar. Aku kembali dibawa dalam kejadian itu. Kejadian dimana mimpi dan nyata begitu terasa bedannya. Namun pikiran ini tak henti - hentinya menguatkan pembenaran untuk menyatakan kejadian tersebut.

"Yeaaaaa, ini pertanda!!!", tegasku bersemangat