Sabtu, 30 Mei 2015

Aku Niluh, Salam Kenal

Sejak pertemuan terakhir itu dengan Nuri. Perjalanan pertama dan juga perbincangan pertama yang ku buka dengannya, selalu terbayang raut wajah dengan bola mata yang besar. Bentuk muka yang tidak tirus namun tidak pula bulat. Pas. Gingsul itu membuatku merindu. Merindu disetiap kali ia mengucapkan kata. Setiap bukaan tawa yang keluar bersama pajangan gigi gingsulnya.
Waktu kemudian berlalu. Gambaran wajah itu pun kini mulai terasa memudar. Raut wajah penuh tawa dengan rona keceriaan itu mulai berbeda dari sebelumnya. Aku mulai takut gambaran wajah itu hilang dari pikiran dan bayang setiap kali ku membayang. Aku mulai mencari - cari beberapa gambaran wajah itu yang mungkin terekam sebelumnya. Stalking di beberapa akun media sosialnya juga kulakukan. Berharap, paling tidak raut wajah itu akan tetap tersimpan dalam pikir ini.
Ku lakukan kehidupanku yang cukup monoton seperti biasa. Bangun pagi dimana bagi ayam itu sudah sangat begitu kesiangan. Membenahi beberapa carut - marut ruangan semalam dengan melanjutkan untuk menyeka hasil tidurku semalam. Mulai kubenahi perlengkapan yang hendak ku bawa ke tempat kerja setelah mengganti baju. Mengayuh sepeda warna biru muda selama lima belas menit untuk ke tempat kerja. Waktu tempuhnya bisa menjadi sepuluh menit saja jika ku lewati jalan tikus yang memotong jalan raya. Begitulah seterusnya, diakhiri dengan pelaksanaan solat jumat diakhiri pula dengan pelaksanaan solat jumat.
Dan hari ini berbeda. Ada pesan masuk di hape ku. Kulihat nomor baru yang belum pernah disimpan dengan nama seseorang. Penampakannya begitu jelas, ada pesan masuk. Aku mulai memandanginya nomor itu perlahan dilanjutkan membuka pesannya.
"hai, aku Nuri. Kamu orang yang waktu itu kan?",

Dahulu temanku sempat menawarkan ku untuk dikenalkan dengan beberapa teman perempuannya. Ya paling tidak untuk menambah teman mengobrol katanya. Aku hanya bisa melayangkan tawa seperti biasanya tanpa jawab. Seperti itulah, aku masuk dalam kriteria laki - laki yang tidak punya keberanian dan juga kemampuan untuk memulai perbincangan dengan seorang perempuan, apalagi perempuan yang baru akan dikenalnya.
Malam kembali menjumpai. Begitu senang aku dengan malam. Menikmati setiap detik yang berlalu dalam malam - malam yang kujumpai. Dengan malam itulah aku bisa sedikit mendapatkan kebebasan yang dimiliki oleh setiap orang. Malam yang menjadi medium yang membatasi belenggu kebebasan. Karena dengan malam orang - orang mulai membatasi diri mereka sendiri yang sudah terbelenggu kebebasannya di siang hari. Disaat itulah, saat dimana seseorang dapat membebaskan batasan dirinya. Menikmati beralihnya waktu, beralihnya perjalanan rembulan mengudara mengkilapkan langit gelap itu.
Malam itu aku kembali bertemu dengan teman sepermainan yang sempat menawarkan untuk memperkenalkan temannya. Ada perempuan yang kemudian menghampiriku. Dia langsung saja menebar senyum manis dengan sedikit lekuk lesung pipitnya. Temanku Bams, yang sebelumnya ingin memperkenalkan beberapa temannya seketika pula muncul dan langsung menapuk bahu ku seperti biasa serta langsung duduk menyebelahiku.

"No, Dino, ini temenku", ucapnya sembari duduk di sebelahku.

Aku memandanginya bebera saat kemudian kembali kupalingkan. Kupandang lagi, dan lagi. Senyumnya kembali ia tawarkan. Merekah indah menyejukan pandangan yang mengalihkan. Entah bagaimana aku harus bersikap waktu itu.

"Aku Niluh, salam kenal", ucapnya, masih dengan senyum yang sama.

Kokok ayam mengudara membuyarkan senyum yang indah itu./dp

Jumat, 22 Mei 2015

Pertemuan yang Begitu Saja

Dan malam itu menjadi malam yang panjang hingga ayam mulai menggeliat bersama menyambut pagi. Perbincangan ringan yang muncul dari setadi sore tak ubahnya cemilan ringan menemani tontonan film kartun minggu pagi. Aku sedikit demi sedikit mencoba berani mengungkapan setidaknya beberapa hal yang mengisi hati sanubari. Kepada kamu.
Keputusanku untuk mencoba berani pada perbincangan yang lebih mengerucut tak lain karena kurasakan adanya sinyal. Respon positif yang dilayangkan dalam setiap kata - kata dalam obrolan denganmu membuat hati cukup berbunga. Sedikit meyakinkan akan sebuah peluang untuk langkah yang lebih dari sekedar langkahku menjalani pagi. Kuputuskan untuk sedikit mengungkapkan perasaanku.

Dan, pertemuanku yang sepintas waktu itu tak memberikan sinyal apapun pada sensor diri yang tingkat kepekaannya terlalu besar ini. Dia adalah Nuri. Perjumpaan bersamaya sekedar bertamu, berkunjung ke rumah teman yang masih dalam satu lingkup pekerjaan. Karena pekerjaan itulah yang menghantarkaku untuk berkunjung ke rumahnya. Dan Nuri ada disana, ketika aku hanya menghadapkan raut muka sepintas pada tatapan matanya yang bulat dan kembali ku tujukan obrolan dengan si empunya rumah.
Hingga obrolan itu belum berakhir, Nuri sudah terlebih dahulu meninggalkan riuh canda kami. Atau mungkin karena kedatanganku itulah berimbas pada segeranya Nuri untu beranjak pergi. Badan yang cukup, tidak pendek dan tidak pula terlalu tinggi. Wajah yang hanya samar-samar saja aku meihat, tapi terekam seluruhnya.

Hingga perjalanan membawa ku bertemu dengan Nuri. Pertemuan yang cukup menggelikan mengenang telah lalu sepertinya sempat berjumpa, meski hanya selayang pandang.
" Aku Dino", ujarku dengan uluran tangan mengharap jabatnya untuk yang pertama kali.
"Aku Nuri", sembari membalas dengan himpitan kedua telapak tangannya, sebagai tanda untuk menjaga kesucian dari wudhu disaat solat dhuhanya dan atau sebagai tanda kemuhriman kami yang belum satu muhrim.
Wajahnya menarik. Bola matanya tajam, bulat besar dengan segala keantusiasan akan kehidupan yang penuh dengan suatu makna perjalanan. Giginya yang sedikit gingsul menambah manis senyum yang disuguhkannya kepada siapapun yang dia sapa. Banyak senyum yang Ia layangkan. Obrolannya begitu dewasa, namun juga tak canggung untuk menggelar tawa dan berbagi cerita. Cerita perjalaan - perjalanan yang telah dilakukannya.
Ya, dia salah satu perempuan yang terbuka pada semesta. Mengeksplor segala hal yang ada disekitar dimana ia bekerja. Mencari tahu tempat - tempat yang sudah banyak direkomendasikan hingga tempat - tempat yang menarik yang belum banyak orang tahu. Merencanakan perjalanan yang sangat sering mendadak, melewatinya dan menikmati setiap perjalanan yang berlalu. Dari salah satu perjalaan itulah aku bertemu dengannya. Dan aku kembali tak menjumpainya setelah perjalanan itu berakhir.

Malam kembali datang. Semenjak obrolan kami di sepertiga malam itu yang cukup menarik dan syahdu dengan iringan rintik - rintik hujan yang enggan untuk menghabiskan isinya dengan seketika. Pelan, sedikit berbau romantis dan terkesan cukup menyeramkan untuk kondisi waktu yang telah larut kala itu serta tak ada tanda - tandanya untuk berhenti. Kali ini kamu yang membuka percakapan.
Demikianlah setidaknya beberapa tanda - tanda yang ku anggap sebagai sinyal. Tanda yang memberikan ku sedikit keberanian untuk membicarakan permasalahan yang lebih serius dari obrolan yang biasa kamu dan aku lakukan. Obrolan yang mungkin akan mengubah perbincangan kami di hari berikutnya. Bisa juga tak berdampak apapun pada rutinitas yang biasa kami lakukan setiap hari. 
Kamu kini menjadi begitu terbuka. Dengan kuantitas chat yang lebih banyak dari waktu sebelumnya. Membuat obrolan - obrolan semakin hidup dan berharap tak melewatkan sedikitpun hal untuk dibicarakan. Respon menjawabmu pun kini sudah tak lagi seperti maskapai penerbangan si garuda merah yang terkenal dengan ketelatannya. Ya, sekarang kamu bak pesawat dengan penerbangan paling pagi. Dimana ketepatan waktu menjad prioritas sekali dan sangat kecil prosentase keterlambatan untuk penerbangan pagi. Ketika aku menulis pesan, you're reading the message. Ketika aku mulai menjawab obrolanmu yang lain, you're writting a message.
Malam kemudian hanya berlalu. Si jago serasa terlalu dini untuk terjaga membunyikan nada yang mengudara menandakan waktu subuh sudah dekat. Hal seperti itu berulang di hari - hari berikutnya. Kamu semakin sering untuk membuka dan memulai percakapan. Memberikan salam di pagi hari. Melayangkan nasihat akan pekerjaan yang sedang dilakukan hari ini, dan semakin sering.

Pertemuanku dengan Nuri hanya di hari itu saja. Sudah lebih dari dua bulan berlalu tak ada tanda - tanda yang akan mempertemukan ku dengannya kembali. Bukannya aku tak sempat menanyakan dan meminta kontak pribadinya sehingga aku bisa melanjutkan mendengarkan cerita - cerita perjalanan yang telah dilaluinya, namun dia belum sempat memberikan atau mungkin tidak berkenan memberikan kontak pribadinya. Aku juga tidak begitu saja berhenti untuk melanjutkan pencarian akan informasi pribadinya. Sudah kutemukan beberapa akun Nuri di media sosial. Kutandai padanya bahwa aku exist. Sekedar itu saja. Ya, sekedar itu saja.
Dua kali pertemuanku dengan Nuri hanya terjadi begitu saja. Begitu saja aku mempercayakan pertemuanku kembali dengannya. Menyerahkan kepada sang waktu untuk pertemuan - pertemuan tak terencana di masa - masa selanjutnya. Kembali menikmati tawa yang ia hadirkan. Manis senyumnya dengan gingsul yang menganga di ujung geraham memaksa untuk membuyarkan segala kepenatan. Mendengarkan ceritanya membawaku menjadi salah satu tokoh dalam cerita itu. Membawaku kembali percaya pada sang waktu untuk membelok - belokan alur berlalunya kehidupan yang mengantarkan pertemuan ku dengan mu kembali./ad

Selasa, 19 Mei 2015

Mbak Ngajari Kamu Mbolos, Tapi

Tiga perempat. Karena yang satu itu hanya milik-Nya yang hanya satu.

Ketika masa berganti sementara musim pun beralih. Musim kemarau dan musim hujan tak lagi bisa dibedakan berdasarkan periode bulan seperti pelajaran sewaktu sekolah dasar (SD) dulu. Di bulan Maret kondisi sedang peralihan menuju kemarau, dengan intensitas hujan yang masih cukup tinggi. Tapi tak menghentikan minat dan niat rombongan kala itu untuk mendaki gunung. Gunung Prau di sekitaran Wonosobo, Jawa tengah.

Agenda melancong menyapa gunung yang sedikit terencana dan cukup banyak dadakan. Kami bersembilan dengan personil yang bisa ikut saja. Perjalanan yang ditempuh cukup jauh. Posisi start perjalanan dimulai dari kota Semarang yang akan dilanjutkan dengan perjalanan darat menggunakan sepeda motor menuju daerah Wonosobo. Karena bersembilan akan ada yang berkendara sendirian dari lima motor yang berangkat.
Berkumpulah rombongan yang bersembilan itu. Kami adalah Dias,Ius, Kun, Burhan, Andeng,Bima, Bela dan adik laki - lakinya, Fachri kalau tidak salah namanya. Rombongan kesembilanan dengan seorang srikandi yang memesona.

Hari itu aku lupa tepat harinya, tapi yang pasti hari kedua pendakian kami, saat kembali turun gunung itu adalah hari dimana adik laki-laki Bela akan ada ujian disekolahnya. Ya, anak laki - laki termuda di rombongan itu masih kelas 2 SMP dan akan mengikuti ujian tengah semester di sekolahnya. Hari dimana ia sedang melakukan perjalanan pulang dari pendakian pertamanya pada paku - paku bumi yang Tuhan ciptakan.

Bukan perkara yang instan dan juga tidak terlalu rumit untuk keberangkatan Fachri mengikuti pendakian pertamaya itu. Ajakan yang menggiurkan dari Kakak Srikandinya itu membebaskan tanggungan ujiannya esok hari. Terlebih Kakak yang begitu ngayom dan membanggakan adiknya ini meng-guaranted-kan dirinya untuk memberikan dukungan demi mendapatkan ijin dari orang tuanya, orang tua mereka berdua. Dengan beberpa pertimbangan, orang tua mereka mengijinkan Bela beserta adiknya Fachri yang akan mengikuti ujian, untuk mengkuti pendakian gunung Prau. Mengijinkan untuk membolos.

Kala itu merupakan pendakian pertamaku bersama Srikandi yang membawa serta adik laki - lakinya ini. Kami sampai dipuncak tengah malam karena posisi start kami sudah cukup larut. Tiga tenda kami siapkan. Dua tenda berisikan masing - masing 4 orang dan satu tenda untuk Srikandi.

Cahaya merah kekuning - kuningan sudah mulai nampak dan cukup menyilaukan mata untuk segera beranjak keluar dari dalam tenda. Bela, si Srikandi ini sudah segar berdiri tepat di depan tenda adik laki - lakinya. Dia membangunkan adiknya untuk menikmati mentari pagi yang masih malu - malu di bawah horizon di pendakian pertamanya. Dan tujuan sebenarnya, membangunkannya untuk segera melaksanakan solat subuh.
Mbak emang ngajari kamu mbolos ujian, mbolos sekolah, tapi Mbak gak ngajari kamu buat gak solat gara-gara naik gunung !, ujarnya pada adik laki - lakinya
Banyak memang orang yang terkadang melupakan apa yang seharusnya dilakukan dengan mengalasankan berbagai kondisi yang ada. Namun tak sedikit pula orang yang begitu sadar akan pelaksanaan kewajibannya terhadap Tuhan yang telah menciptakan paku - paku besar untuk mereka jalani hingga puncak tertingginya. Dan seperti itulah makna yang nantinya akan didapatkan dari setiap perjalanan bertafakur dengan alam semesta.

Lelaki paling muda dalam rombongan itu pun hanya terdiam dengan nasihat dari Kakak tercintanya. Sesegeranya pula Ia beranjak melakukan Tayamum untuk membersihkan diri dari hadast kecil dan melaksanakan solat subuhnya./ad