Minggu, 21 Februari 2016

Aku dan Kamu, Dulu

Suara radio lagi memberitakan news update yang lagi nge-hits atau malah sengaja dibikin hits untuk mengalihkansuatu permasalahan yang berkemungkinan membahayakan keberlangsungan pengusahaan suatu kelompok. Beritanya juga tidak lama, seperti tujuan yang memang diharapkan dari pembuat propaganda halus. Kemudian dilanjutkan dengan lagu yang update. Lagu - lagu yang lagi ngee-hits atau pun lagu yang dikemudian hari nantinya akan jadi hits.
Kali ini bukan kopi atau hujan yang menemani mendengarkan senandung nestapa yang digilir hingga penyiar tak bisa lagi bersuara, karena harus tidur dan dilanjutkan keesokan harinya. Aku bersama segelas air putih. Karena tak ada kopi, air putih pun jadi. Ada pepatah yang bilang begitu, ya setidaknya menyerupai seperti itu lah. Dan bersama burung hantu juga. Patung burung hantu dengan yang bertengger disebuah buku terbuka yang bertuliskan filosofi dari burung hantu yang bijak, berpengetahuan dan berpengalaman. Bukunya berisi sebuah tempat persegi panjang jika diangkat burung hantu dan bukunya sebagai tempat untuk menyimpan kartu nama atau struk tarik tunai di ATM dan koyo cabe.
Aku bertemu kamu kemarin. Oh ya, kamu yang ini bukan kamu yang kemarin ya. Kamu bulan lalu itu bukan kamu yang kutemui kemarin. Ini kamu yang lain. Diingat ya, ini kamu yang lain yang kutemui kemarin bukan kamu yang bulan kemarin. Dan kamu ini bukan aku ya.
Kamu dulu pernah sekolah bersama dengan ku. Ingat kah kamu? Tidak ingat? Akan aku ingatkan kamu. "Hei, aku ingetin kamu ya, kamu itu pernah sekolah bareng aku tau". Kamu pernah satu sekolah denganku, bahkan pernah sekali aku satu kelas dengan mu. Ya, satu kali, waktu itu kelas satu. Kamu itu pelupa. Ini tadi buktinya, kamu lupa dengan ku, kamu gak inget teman sekelasmu. Dulu.
Oh ya, kamu lagi apa? Kalau aku lagi disini aja, lagi bareng sama owl dan baru aja nanya ke kamu, kamu lagi apa, dan habis ngingetin kamu kalo kamu teman sekolah aku. Kamu satu SMP dan juga satu SMA denganku. Kita, kamu dan aku pernah bersama, bareng belajar satu kelas hanya di kelas satu. Di kelas satu saja kita bareng, kelas yang lainya gak bareng, apalagi waktu lahir kamu gak bareng kok sama aku. Cuma beda beberapa detik aja si, sekitaran sepuluhjutaan detik lah.
Kamu cerdas, kalau aku ya begitulah, tak perlu dibandingkan. Karena ada orang bijak pernah bilang, orang ini namanya memang bijak ya, Pak Bijak, "kita itu, gak bisa membanding-bandingkan satu orang dengan orang lainnya, rejeki satu orang dengan rejeki orang lainnya, jodoh satu orang dengan jodoh orang lainnya, celakanya satu orang dengan celaka orang lainnya, bla-bla-bla- banyak banget". Begitu juga kamu dengan aku.
Sewaktu SMA kamu sudah lulus SMP terlebih dulu, begitu juga aku ikut - ikutan untuk terlebih dahulu lulus SMP. Akhirnya aku bisa ikut - ikutan satu SMA denganmu. Diawal masuk SMA aku memilih untuk di kelas satu terlebih dahulu, begitu juga dengan kamu berada di kelas satu terlebih dulu. Bedanya, sekarang kamu yang ikut-ikutan aku dan teman - teman yang lain juga, ikut-ikutan denganmu, ikut-ikutan dengan ku. Karena kelas satu, aku jadi harus sopan dengan senior yang di kelas dua dan tiga. Akhirnya aku jadi pendiam karena aku tidak suka ngomong. Kalau temen - temen yang lain jadi pembicara karena suka ngomong.
Ternyata kamu ikut-ikutan, namun bisa juga jadi pembicara. Padahal aku tidak mengajarimu untuk menjadi pendiam, tapi kamu menjadi pendiam saat tidak berbicara. Tapi kamu orang baik, jadi kamu tak menyalahkanku meski kamu berubah menjadi pendiam karena aku pendiam dan kamu tidak sedang berbicara. Kamu pintar. Hasil ujian kenaikan kelasmu baik, mungkin cerminan dari orang baik yang tidak suka menyalahkan keadaan seseorang. Dan kabar baiknya, aku ikut - ikutan baik juga. "Alhamdulillah", kata temanku aku harus bilang begitu. Dan kamu memilih bahasa, jurusan bahasa.
Kalian semua tahu kan, kalau sistem pendidikan di jalur sekolah menengah atas atau yang lebih dikenal dengan SMA, yang dulunya mempunyai sebutan SLTA, ujian kenaikan kelas di semester dua pada saat kelas satu sangat menentukan teman sekelas berikutnya dan kelasa mana berikutnya. Makanya aku penginya saat masuk SMA langsung ke kelas dua minimal, cuma aku harus ikut-ikutan kamu. Di SMA umumnya ada tiga pilihan jurusan yang dijadikan opsi, jurusan IPA, jurusan IPS dan jurusan Bahasa. Umumnya yang dikenal, jurusan IPA itu untuk mereka yang memiliki nilai yang bagus dan tinggi, jurusan IPS untuk yang nilainya bagus cuma di bawah nilainya yang masuk IPA dan jurusan Bahasa untuk nilai yang bagus yang tidak masuk di IPA atau IPS. Umumnya yang dikenal, anak IPA lebih bagus dari anak IPS nilainya. Tapi aku lebih sependapat dengan Pak Bijak yang bilang, "Jurusan di SMA sana itu, jurusan yang disediakan pemerintah dan sebagai warga negara dalam pemerintahan kalian diharuskan mengikuti yang pemerintah sediakan untuk keberlanjutan alur yang disediakan oleh pemerintah. Jurusan hanyalah kedok, jurusan IPA sebagai kedok kalau kalian ingin jadi Dokter, kalian diwajibkan mempelajari dan memakai kedok yang berisi ajaran - ajaran biologi dan ilmu IPA yang lain. Jurusan IPS juga kedok seorang konsultan ekonomi yang harus berwajah akuntan dan ilmu-ilmu sosial yang lain. Pun dengan jurusan bahasa. Dan lihat, ada Dokter yang membayar jasa marketing suply obatnya setelah sebelumnya di pegawai marketing ini diajarkan bahasa yang beragam oleh ahli bahasa, sebelumnya di ahli bahasa tadi melakukan pemeriksaan kesehatannya kepada si Dokter. Intinya kena?" Setidaknya seperti itu yang dikatakan olek Pak Bijak, kalau dilanjutkan bisa - bisa aku nanti periksa ke ahli bahasa dan meminta resep ke orang marketing dan bayar obat ke Dokter.
Kamu berhasil mengikuti pelaksanaan ujian dengan selamat dan sehat selama lima hari dari Senin hingga Senin lagi. Minggu itu hari Rabunya tanggal merah. Sedangkan aku kurah sehat di hari Kamis, pantaslah kamu memiliki hasil yang lebih baik dariku. Waktu itu aku sakit, namanya insomnia, aku nggak bisa tidur pas lagi ujian. Untuk seukuran hasil nilai rapot mu, aku bisa masuk di kelas IPA terbaik. Bukan terbaik ding sebutannya, lebih pada IPA yang urutan pertama. Tapi kamu berada di kelas bahasa. Bukan sedang main keuar kelas pas jam pelajaran cuma buat ngunjungin kelas bahasa ya, tapi kamu memilih jurusan Bahasa. Dan aku masuk di jurusan IPA. Aku mungkin dianggap sedikit pintar mungkin atau paling tidak mampu menyesuaikan di kelas IPA, minimal. Atau mungkin kamu sengaja memilih jurusan Bahasa sehingga kuota untuk anak IPA berkurang sehingga aku masuk ke IPA? Benarkah demikian? Ah, kamu jadi pendiam lagi.
Kamu tumbuh jadi siswa yang baik. Mengikuti pelajaran dengan sangat baik, memiliki gaya bergaul yang baik dan terbuka dengan yang lain. Jadi banyak yang dekat denganmu dan kamu pandai dalam beberapa bahasa, terutama bahasa Jerman. Dan aku masih sangat fasih dengan dialek medok ku.
Kamu punya mimpi ke Jerman dan aku, nanti kupikirkan lagi. Sementara aku ikut-ikutan denganmu dulu ya.

Minggu, 22 November 2015

Disini, Bersama Hujan

Aku masih disini, di tempat tinggal perantauan rumah dinas milik orang, sendiri dan sedang hujan dan bersama angin hadirnya. Aku masih sendiri dan sedang sendiri.

Aku tahu hari ini akan hujan. Bukan aku menjadi sok seorang peramal, tapi kalian tau sendiri lah acara prakiraan cuaca di tivi sudah jadi hal biasa jadi kusempatkan semalam untuk menyaksikan tivi peramal. Kopi hitam sudah disiapkan meski bukan kopi gilingan sendiri atau hasil panen sendiri di kebun, tapi cukuplah dijadikan sebagai partner hujan hari ini.

Aku masih disini dan aku tahu kalau sekarang sudah hujan. Kalian tahu juga kan kalau sekarang sedang hujan? Tidak tahu? Kalian harus segera bergegas buka pintu rumah mu beranjaklah keluar, ulurkan tanganmu biarkan tetes air hujan membuat syaraf mu merespon perbedaan suhu yang ada, tariklah nafas yang dalam dengan perlahan rasakan sedapnya bebaunan tanah kering yang baru saja terguyur hujan. Kalian menjadi tahu kalau sekarang hujan dan aku masih disini dan masih sendiri.

Akhirnya kalian tahu. Aku jadi punya tabungan seclumit amal karena telah membagikan hujan dengan kalian dan mudah – mudahan bias membantu kelak, disana, bukan disini.

Kalian tahu bahwa aku masih disini bersama hujan. Dan yang aku tahu, disana, bukan disini ada seseorang yang begitu tahu tentang hujan dan sekarang hujan. Dia pasti sedang memandang luas keluar jendela,, memindahkan kursi belajarnya dekat dengan jendela membuka luas – luas daun jendela membiarkan angin dengan sedikit komposisi air bersirkulasi dalam kamarnya  dan sebuah buku yang sudah disiapkan dalam pelukannya.

Dia akan menikmati setiap tetes air hujan yang akan jatuh menghantam bumi. Menerawang luas keseluruhan hujan kemudian memfokuskan pada salah satu sisi hujan dan memilih sebuah tetes hujan yang akan Dia ikuti hingga benar – benar pudar menghantam bumi. Begitu selanjutnya. Jika mau, kalian bias lakukan it uterus menerus hingga awan benar – benar sudah tidak memiliki tetes air lagi.

Ada sebuah keramat yang dia tahu ketika hujan. Tuhan yang mengijinkan hujan. Ketika hujan, Tuhan memerintahkan malaikatnya untuk menebarkan berkah hujan ke muka bumi hingga selang waktu tertentu dan kemudian hujan berhenti. Ada rentang waktu dimana mulai hujan, terjadi hujan dan hujan berhenti. Dan pasti dalam rentang waktu itu malaikat yang diutus oleh Tuhan itu sedang on dutty. Ada malaikat yang standby untuk mengoperasikan saklar ON hujan dan OFF hujan ketika kemudian berhenti. Dalam rentang waktu itulah Dia mengambil peluang.

Dia memandang jauh menembus lalu lalang hujan yang ada di depannya, pandangannya tampak sekilas kosong tapi ada, dia disana dan tahu betul apa yang sedang dilakukannya. Dia panjatkan doa yang terkadang sulit untuk terpendarkan dalam lantunan doa karena dia tahu ada kurir pesan yang sedang bekerja dan sangat dekat dengan Tuhan, sekirannya kurir itu bisa menyampaikan secara langsung pesan doa yang ditebarkan di sejauh hujan membasahi bumi.


Dan aku masih disini bersama hujan sekarang dengan kopi yang sudah mulai terlihat ampasnya dan aku mencoba menyimak doamu.

Kamis, 30 Juli 2015

Trip Invitation

Kemudian semesta mempertemukan.

Sore itu ada getar di telepon genggam merk terdahulu yang masih aku gunakan. Itu pertanda ada pesan yang masuk. Aku menghiraukan saja, karena biasanya di jam - jam itu akan ada pesan dari operator penyedia layanan jaringan yang selalu mengabarkan informasi dan promo terbaru. Getar itu bertahan tak lebih dari satu menit. Dan prasangka akan telepon genggam tersebut hanya berlalu begitu saja. Lupa.
Pekerjaan pun selesai pada waktunya, pulang pun juga sesuai dengan kewajibanku untuk bekerja. Malam kemudian mendapatkan giliran untuk menemaniku melewati hari. Kusandarkan badan sejenak pada tembok yang penuh dengan bekas coretan anak kecil. Tas yang biasa kubawa bekerja juga bersandar disitu. Aku kembali ingat kalau ada pesan masuk yang kulewatkan tadi sore. Didekatkanlah tas itu dan kuambil telepon genggam yang ada di kantong kecil pada tas tersebut. Pesan itu dari Dani, seorang temanku yang akan dirindukan usai melewati trip bersama.
Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh.. Halo teman - teman single,ada kabar gembira, ada ajakan trip dari teman 2 traveller saya di Banjar. Hari minggu ini bakal trip ke daerah Rantau. Starting point dari Banjarbaru jam 06.00 Wita. Bjb ke Rantau sekitar 2,5 jam , dikabarkan lokasi alam tidak bisa dilewati mobil jadi harus naik motor. Kalau ada yang berminat bareng2??......itu dari temenku mas, melu mas?
Ternyata sebuah ajakan trip, untuk menikmati semesta. Dilihat dari isi pesannya, kebanyakan dari mereka adalah para lajang yang masih bebas melanglang menjelajah nusantara ini.
Ajakan itu sangat menarik sekali, terlebih untuk beberapa bulan terakhir ini memang belum ada kesempatan untuk menghibur diri sendiri. Mungkin ini saatnya. Mengingat memang tidak ada kegiatan di minggu itu, aku menjawab "yes" dengan ringan kepada Dani. Pertemuan kembali dengan Dani mengenang perjalanan yang sudah pernah kami lalui, dulu.

Invitation trip itu bergetar di Kamis sore, dan waktu memang berlalu begitu cepat bagi yang tak menyadari. Pagi itu, untuk daerah Wita ukuran jam 06.00 menyajikan suasana pagi yang masih sedikit gelap, beberapa motor sudah terparkir, sedikit berantakan. The day has come. Hari ini! Undangan perjalanan yang kemarin aku biarkan saja, kini aku berada diantara motor - motor yang terparkir itu. Telah siap dengan helm, motor dan kesiapan diri yang cukup. Kemudian kamu muncul.
"Haiiii,,,", sapanya mengambang.
Dan aku kembali terdiam.

Rabu, 29 Juli 2015

Mimpi Ke Jerman

#05

Mulai setelahnya.
Setelah terbiasa dengan candaan dan gurauan, mereka pun mensyahadatkan mimpi mereka. Untuk kali pertama mereka begitu serius dalam memberikan penekanan akan mimpinya.  Raut muka lusuh penuh gurau seketika menjadi wajah dewasa yang siap untuk menghadapi segala cobaan hidup. Entah bagaimana semangat mereka begitu tampak dan memberikan aura hangat disekitarrnya untuk sekejap. Dan kembali canda menutup semangat mereka dengan riang, semesta pun menyambut. Hujan.
Awan dan Nelil, dua laki - laki yang diperkenalkan melalui kesamaan bidang jurusan yang mereka pilih saat memasuki kelas 2 SMA. Jurusan yang bisa dibilang jurusan minoritas, karena memang dibandingkan dengan dua jurusan yang lain jumlah kelas untuk jurusan ini sedikit. Dua jurusan yang lain, IPA dan IPS bisa mencapai sepuluh kali lipat dari jumlah kelas di jurusan ini, begitu juga pesertanya. Ya, mereka memilih jurusan bahasa. Bukan karena mereka tak mampu masuk ke jurusan IPA, tapi mereka "memilih" bahasa.
Mereka berdua, Awan dan Nelil dipacu mimpi oleh beberapa pendahulu di jurusannya yang sudah melenggang di Eropa, di Jerman. Para alumninya ini begitu komunikatif menguasai bahasa jerman ,aktif dalam mencari informasi belajar di Jerman dan berani memutuskan untuk ikut dalam program belajar langsung di Jerman. Ada program yang sangat dikenal oleh anak - anak jurusan bahasa sebagai jalan mereka untuk ke Jerman. Di dalam kelas mereka sudah dibekali kemampuan berbahasa jerman dengan baik. Sehingga iming - iming untuk melangkah berani ke Eropa sangatlah menggebu - gebu dalam diri mereka.
Awan dan Nelil bukanlah anak yang paling pandai dari sedikit anak - anak di kelas bahasa. Tapi mereka tahu benar memposisikan diri mereka di dalam kelas, diantara teman - temannya. Dengan gambaran dan cerita tentang Jerman dan semangatnya yang sudah menggebu dalam diri, mereka pun tak sungkan untuk bermimpi. Berikrar bahwa suatu saat nanti mereka berdua akan menginjakan kaki di Jerman. Bagaimanapun caranya, salah satunya dengan mengikuti program belajar ke Jerman dengan terlebih dahulu menjadi anak angkat keluarga di Jerman dan bekerja pada mereka.
Mimpi yang terikrar tumbuh dan mengharrapkan asupan nutrisi yang baik serta kondisi cuaca yang mendukung. Harus memiliki akar - akar yang kokoh yang mampu bertahan akan hembusan angin, virus jamur yang membusukan akar dan bersaing dengan gulma yang memojokan secara terang - terangan di depan mata.
Tak terasa dua tahun di jenjang SMA tidak lebih lama dibandingkan pembicaraan mereka akan mimpi ke Jerman. Ujian nasional telah usai, pengumuman kelulusan pun sudah diketahui setiap siswa hingga pada keluarga mereka. Selebaran, poster dan ajakan pendaftaran ke perguruan tinggi pun sudah banyak meracuni setiap siswa. Memberikan banyak pilihan yang masing - masing mampu menggoyahkan pribadinya. Hal itu juga terjadi pada mereka. Kini keduanya harus menentukan langkah mereka masing - masing ke depan. Mengaitkan ikrar mimpi mereka pada ujung tertinggi katedral.

Senin, 15 Juni 2015

Senyum Itu, Sekar

#04

Seperti malam yang lalu. Kali ini kembali kuhabiskan waktu untuk sekedar menaiki transportasi umum dan murah dari Bogor ke Jakarta. Pelancongan sore itu juga tidak terencana sama sekali. Saat matahari mulai menyingsing memerahkan awan putih tebal di sepanjang horizon, aku pun memutuskan untuk segera beranjak sebelum gela benar - benar membuatku malas.
Begitulah, aku lebih suka dengan keramaian dalam transportasi umum. Aku juga lebih nyaman dengan sepinya trasportasi umum daripada harus duduk menjamur di dalam kamar. Membuka mata selebar - lebarnya menatap luas keluar ruangan. Hal itu yang membuatku merasa lega. Terkungkung membuat pikiran yang sudah lama dipingit terasa semakin sesak. Beralih ke luar ruangan, ke tempat yang berbeda maupun baru akan lebih menggelorakan jiwa.
Aku mulai sering membaca buku. Dan aku begitu senang mecari - cari tempat baru untuk menghabiskan waktu hanya untuk sekedar membaca buku. Perjalanan panjang antar kota di jalanan metropolitan tak sepenuhnya menyebalkan. Apalagi dengan ditambahnya dengan acara bermacet - macet ria di bawah teriknya matahari yang melumerkan aspal jalanan. Namun ada klik kecil yang menjadi ajang untuk ku bersenang - senang. Menghabiskan setiap lembar demi lembaran buku.
Dibandingkan dengan kota - kota di pulau sebrang yang penuh kepastian di jalan, kemacetan ibukota memiliki nilai lebih. Sebagai gambaran saja di Kota - kabupaten Banjarbaru di Kalimantan selatan sana. Di sana waktu tempuh untuk pergi ke kota sebelah maupun kota yang sebelahnya lagi memiliki durasi yang sama di setiap waktunya. Pasti. Banjarbaru ke ibukota Kalimantan selatan - ke Banjarmasin sudah pasti akan ditempuh dalam rentang waktu 40 - 60 menit saja, di segala waktu. Lain dengan d metropolitan dimana waktu tempuh perjalanan di jam - jam tengah hari dengan di sore hari akan memberikan selisih waktu yang cukup signifikan. Waktu yang lama terbuang di kendaraan umum itulah waktu yang aku gunakan untuk bersenang - senang membunuh waktu dengan membaca buku.
Commuter line atau kereta listrik yang ada di jalur Jabodetabek sudah semakin nyaman. Menjadi tempat yang cukup menarik untuk kujadikan ajang merampungkan lembar terakhir buku - buku yang belum selesai kubaca. Banyak penumpang juga yang begitu pulas tertidur dengan semilir hembusan udara pendingin. Anak - anak kecil pun turut meramaikan gerbong KRL yang memang sedari tadi sudah rame. Tak tampak rasa khawatir dari wajah mereka.

Aku pulang terlalu larut. Mencoba mengejar pemberangkatan kereta terakhir dari Jakarta untuk tujuan akhir Bogor. Lebih dari jam sebelas malam kereta untuk jurusan Depok - yang nantinya bisa transit dari Depok untuk mereka yang memiliki tujuan akhir di stasiun Bogor - akhirnya datang. Gerbong begitu sepi, karena ini kereta paling malam yang mengantarkan penumpang dari Jakarta ke Bogor.
Ada seorang cewek tinggi semampai - sedikit lebih tinggian aku. Putih, dengan rambut terkuncir ke belakang dengan sedikit bercak bekas jerawat di mukannya. Sepatunya anggun dengan balutan celana jeans hitam beserta jaket putih dengan logo garuda di dada sebelah kirinya. Kulewati saja untuk mencari gerbong yang masih menyisakan tempat duduk yang masih lapang untuk sedikit meluruskan kaki.

Kembali kuposisikan badan ini untuk menikmati bacaan buku yang kubawa. Kaki sedikit selonjor menjadi terapi kecil untuk sekedar ajang rehat kedua kaki ini. Tak lama kemudian semakin penuh di dalam gerbong KRL tersebut. Dan mereka banyak yang turun di stasiun transit untuk melanjutkan perjalanan dengan rute yang berbeda sesuai dengan tujuan kepulangannya.
Saat kereta sampai di stasiun akhir hanya bersisa sepertiga bagian dari keseluruhan buku yang belum sempat kubaca.
Aku kembali berganti dengan angkot hijau dengan tujuan Sukasari. Kemudian nanti harus berganti lagi dengan angkot lain untuk sampai tujuan. Angkot masih ngetem menunggu penumpang sedikit memenuhi tempat duduk di belakang kemudinya. Masuklah seorang cewek yang tadi sempat kuperhatikan sejenak di dalam gerbong KRL. Ini cewek yang tadi kan? tanyaku dalam hati. Jaket putih dengan list merah di lengan panjangnya dan logo garuda yang menempel di dada sebelah kiri semakin kentara. Sepertinya dia salah satu atlit dalam kejuaraan antar propinsi , lagi ungkapku dalam hati.
Telapak dan bagian punggung tangannya semakin jelas putih dipandang  dari dekat. Jemarinya lentik, kecil dengan panjang yang cukup beserta kuku yang mucuk eri. Rambutnya masih dikuncir sehingga nampak sekali eksistensinya sebagai seorang atlit wanita. Tak banyak bicara. Hanya sesekali menolehkan pandangnya ke arahku. Sembari bebrapa sering aku mencoba sekilas memandang raut wajahnya.
Dia dan aku sama - sama turun di Sukasari untuk berganti angkot karena angkot hijau tadi trayeknya hanya sebatas itu. Jam tangan sudah mulai beranjak di pukul 02.00 dini hari. Angkot lain dengan tujuan Cisarua sudah ada di depan - angkot yang manjadi pengantarku selanjutnya. Aku kembali memandang cewek tadi, Ia juga sepertinya menggunakan angkot yang sama. Entah kenapa aku langsung saja masuk ke dalam angkot yang penumpangnya sudah tak ideal lagi. Berhimpit - himpitan antar pinggul di dalam sana. Sementara kupandang keluar, cewek tadi masih di luar menunggu untuk angkot berikutnya datang. Dia sendirian. Kemudian kemudi pun mulai bergerak.
Kenapa aku ini masuk begitu saja dalam angkot ini, sementara di luar tadi ada cewek yang harus menunggu angkot di jam - jam segini sendirian. Apapula memaksakan diri berjubel dengan penumpang lain disini. Kenapa tadi tidak turun untuk sekedar menemani menunggu angkot dari pada Ia harus sendirian? Apakah tidak apa - apa baginya untuk menunggu sendirian diwaktu yang mulai menjelang pagi?aahhhh, goblogg, goblog, goblog.....Lagi, kebodohan terulang dan kembali terlambat untuk sadar. Gumaman dalam hati sembari memandang ke belakang angkot yang sudah melaju jauh. Mata ini tak lepas menatap ke belakang, berharap akan ada angkot rute yang sama dimana Ia sudah ikut di dalamnya, tak lagi menunggu.
Kembali lagi. Carut marut rasa bersalah masih menggondok. Tak mau pergi. Kenapa kok aku goblog terus?Kok tega tak tinggalin sendiri? Kembali meronta di dalam hati. Memang demikian, cewek itu bukanlah siapa - siapa, tahu nama pun tidak, menatap wajahpun hanya sepintas mencuri - curi pandang. Namun rasa bersalah sebagai seorang laki - laki yang membiarkan perempuan untuk menunggu angkot sendirian dalam sepinya dini hari tek membuatku tenang di dalam angkot meskipun Ia bukan seseorang yang aku kenal.
Terlalu banyak gumaman dalam hati membuatku tak sadar hanya tinggal aku sendiri dalam angkot itu sesampainya di Ciawi. Tak ada lagi penumpang lain yang hendak naik ke Cisarua. Sopir angkot tak serta merta menurunkan ku disitu. Meski aku tahu angkot ini hanya mengantarku sampai di sini saja karena masih cukup jauh jikalau hanya membawa satu orang penumpang saja. Sopir masih me-ngetem-kan kendaraannya hingga tiba angkot dengan trayek yang sama membawa tiga orang penumpang.

"Mas ikut depan ya...", ucap akang sopir memintaku untuk berpindah angkot.
"Iya, suwun kang...", balasku sembar berjalan ke angkot yang dimaksud.

Aku buru - buru masuk ke dalam angkot karena sepertinya angkot tidak berniat untuk menunggu penumpang lain. Seketika itu aku tertegun. Diam menunduk menuju tempat duduk di bagian dalam. Cewek tadi ada disana. Kurasakan kelegaan dalam hati, mengingat Ia tak apa - apa. Sedemikian itu pula pandang ini tak sanggup menengadah mengingat diri ini sebagai pengecut. Aku kembali diam. Begitu juga Dia. Diam seperti sebelumnya dan mulai sedikit memalingkan arah pandangnya.

"Soriii yang tadi...", tiba - tiba kata itu keluar begitu saja. Ia kemudian hanya memalingkan wajahnya kepadaku.
"Kenapa?...", tanyanya sambil sedikit menajamkan mata
"Tadi kutinggal nunggu sendirian....soriii"....
Seberkas senyum keluar dari wajah putihnya dengan sedikit riasan bercak bekas jerawat.
"Iya, nggak papa...", ucapnya kemudian.

Aku kembali terdiam kaget, dengan apa yang telah kulakukan tadi.

"Aku Dino....", lanjutku memperkenalkan diri
"Aku Sekar....." jawabnya dengan senyum yang lebih lebar dari senyumnya tadi...

Henti angkot pun mengakhir percakapanku dan Dia pagi itu./ad

Jumat, 05 Juni 2015

Menanggalkan Kantuk, Untuk Bekalku

#03

Malam kembali.
Begitulah. Sekali lagi kembali pada  malam lagi. Karena malam adalah menjadi salah satu tempatku berbagi. Berbagi kebahagiaan, atas kebebasan.

Perjalananku mengunjungi sahabat menggunakan moda transportasi umum negeri ini membawa banyak cerita. Cerita yang sangat berharga untuk aku lewati begitu saja. Cerita yang memberikan donasi akan wawasan kepemikiran yang lebih luas. Memikirkan, menyangka dan menyikapi suatu hal dilibatkan analogi persepsi dari segala sisi yang saling menguatkan  kebenarannya masing - masing. Menyimpulkan keseluruhan persepsinya dalam satu keputusan yang paling bijak.
Dalam perjalanannya seiring kemudian, aku seakan merasa menjad orang yang dibawah. Terlalu banyak hal - hal yang terus menguji kehidupan yang dilalui. Setiap uji pun tak hanya berhenti di satu waktu saja. Kelanjutan sebagai efek dari reaksi berantai dari masalah yang ada menjadikan bahan uji yang baru.

Setelah kehilangan buku bacaan di ATM di area stasiun membuatku memunculkan berbagai prasangka. Semua itu sangat cukup membuat penuh pikiran yang sudah terlalu sering terhipnotis tanpa arah. Akhirnya kuputuskan untuk membeli baru buku yang sedang kubaca itu - buku yang hilang. Dengan begitu mengalihkan prasangka yang cukup bisa diterima oleh 'sisi baik'.

"Kubeli saja lagi, mudah - mudahan yang ngambil juga orang yang hobi baca dan bisa berbagi bacaan dengan orang lain", begitu saja kupaksa melewatinya.

Tak berlama - lama aku terpaku dengan masalah itu. Kumulai menatap jauh mengikuti arah penanda jalan keluar dari stasiun. Dilaluinya jalan keramaian orang - orang yang lalu lalang disana. Salip kanan, potong kiri, terobos dari tengah - tengah dan manuver kemana - mana agar tetap sesegera mungkin keluar dari keramaian tanpa mengganggu (red : menabrak) pengguna jalan lain. Angkot jadi fokus utama mataku ini.
Kereta terakhir hari itu. Sudah larut? Ya, pasti! Sudah sepi penumpang pastinya?! Anda keliru. Orang - orang masih berbondong - bondong di kloter akhir dari perjalanan kereta mereka. Seolah menggambarkan gairah dinamis dari kehidupan yang melingkupi kehidupan manusia dalam dunia ini. Angkot - angkot metromini sudah siap melayani di bibir akhir jalur bagi pejalan kaki yang disediakan oleh pihak stasiun. Untuk kembali pulang.

"Bang, ke Sukasari", sapaku.
"Ayo mangga, masuk", jawab supir metromini dengan selanjutnya meminta penumpangnya untuk merapatkan tempat duduk dan memberi sedikit tempat untukku.

Perjalananku pulang pada kloter commuter terakhir tak memberikan pembeda pada jumlah penumpang di metromini yang masih saja berhimpitan. Hanya jalan saja yang begitu lengang untuk si sopir memacu kendaraanya. Jadi dapat menghemat waktu tempuh dibandingkan dengan keadaan pagi dan sore hari saat jam berangkat dan pulang kerja.
Sebelu sampai di Sukasari, mikrolet melewati sebuah pasar yang menjorok ke jalan - jalan. Jam tangann menunjukan tinggal kurang dari lima belas menit menuju pukul satu dinihari. Di jalan itu bukanlah pasar bubrah atau pun pasar setan seperti yang ada di lembah - lembah pegunungan. Tapi ini real pasar. Orang - orang yang saat itu sedang lalu - lalang di pasar adalah orang sungguhan, bukan jadi - jadian. Sama sekali bukan.
Ya begitulah. Kadang aku merasa menjadi orang yang begitu terlalu bekerja keras dalam menjalani hidup. Seakan tak ada yang lebih pedih dari keadaan yang menimpa. Kerja keras yang dilalui tiap harinya untuk menghidupi diri, setiap tetes keringat yang kemudian terkonversi menjadi koin perak yang menghadirkan sesuap nasi untuk terbakar dalam tubuh. Hal itu yang kemudian membuatku terlalu memandang cetek hidup ini. Terlalu banyak orang yang lebih beruntung dibandingkan ku sendiri.
Di sepanjang jalan itu aku mulai memandang jauh sekitaran. Waktu seakan terjadi lag antara waktu yang kujalani dan waktu bagi mereka berlalu. Aku dapat memandang setiap detil yang terjadi dalam pasar itu. Bapak - bapak yang dengan jeli memilah - milah bahan sayuran, beberapa orang sibuk membongkar karung - karung sayur dar kendaraan coak - pick up, beberapa lagi memasukannya ke dalam kendaraan milik mereka sendiri yang mungkin nantinya akan didistribuskan ke daerah lain.
Aku merasa paling bekerja keras, padahal dikala aku sedang pulas menikmati tidur dan mengimaji segala mimpi di luar sana ada banyak orang yang menanggalkan selimut mereka, mencoba memeras keringat dalam dinginnya udara tengah malam demi sesuap nasi dan bekal untuk anak - anak mereka bersekolah di kala mentari nantinya menyingsing. Mencoba menanggalkan kantuk untuk dapat memberi penghidupan pada keluarga mereka dan juga untuk menghidupi tiap - tiap sesamannya yang sejatinya harus hidup.
Ketika dapat memandang segalanya lebih luas, dari berbagai sisi, aku mulai mendapatkannya sebuah kenikmatan dalam diri. Biasanya kutandai dengan senyum - senyum sendiri./ad

Selasa, 02 Juni 2015

Kang, maaf bukunya

#02

Malam.
Karena malam itu sangat kusukai. Malam adalah batas dari orang pada umumnya menggunakan kebebasan mereka. Bagiku, malam itulah kebebasan.

Perhentianku kini berada di kota hujan. Kota bogor dengan kepopulerannya bersama macet saat akhir pekan datang. Urban dari ibukota negara beralih menuju kota ini disaat liburan. Tak ayal meskipun sudah buka-tutup jalur tetap saja padat sangat merayap, malah bahkan macet sama sekali tak bergerak. Tentu saja kondisi seperti ini yang sangat sering dan akhirnya menjadi maklum dengan hal yang namanya macet. Maklum karena memang sudah biasa. Tak begitu menjadi masalah, asalkan bukan kesalahan yang sangat sering sehingga menjadi maklum yang berkelanjutan.
Perjalananku diiringi dengan transportasi umum. Aku berencana ke ibukota bumi pertiwi ini menggunakan commuter. Transportasi yang memiliki jalur monopoli ini sudah cukup nyaman di negeri ini. Sebelum ke stasiun tempat transportasi ini berada aku menggunakan metromini alias angkot lokal yang begitu banyak di kota Bogor. Bahkan sampai ada temenku yang bilang kalau Bogor sekarang memiliki julukan lain setelah kota hujan, yaitu kota angkot. Bagi pemula di kota ini juga tak perlu begitu khawatir. Kalau lah memang tidak tahu angkot trayek mana yang harus dinaiki, tinggal tanya saja ke akang supir angkotnya. Mereka, si akang ini akan mengarahkan dan sedikit memberi saran untuk sampai tujuan.

Aku masuk ke ruang Anjungan Tunai Mandiri untuk mengambil uang cash. Uang yang aku gunakan untuk membeli saldo di kartu tiket elektronik yang digunakan untuk mengakses fasilitas commuter. Beberapa ratus ribu juga aku ambil untuk pegangan di ibukota dan selanjutnya mengantri barisan untuk membeli saldo. Setelah dapat giliran bergegas aku langsung memasuki portal tiketing untuk menuju lokasi kereta. Tiba - tiba teringat ada sesuatu yang tertinggal saat aku mengambil uang tunai tadi. Ya, tadi aku membawa sebuah buku untuk baacaanku di dalam kereta. Aku beranjak keluar lagi untuk kembali ke ruangan ATM. Dan bukunya sudah tidak ada.
Bukunya hilang. Sedikit menyesal, pasti. Karena aku sedang asik menikmati buku itu dari tiap - tiap pembahasan materinya. Dan harus terhenti sampai disana tanpa meyelesaikan buku tersebut. Padahal buku itu sangat menarik bagiku sendiri. Tak apa lah. Kuharapkan saja yang mengambil itu seorang penikmat buku juga. Jadi buku tersebut bisa menjadi salah satu penghibur di setiap perjalanan hidupnya. Dengan harapan lebih, setelahnya selesai dengan buku itu bisa menghubungi email yang pernah kutulis di buku itu. Lebih bersyukur lagi jika nantinya buku itu dikembalikan lagi ke orang yang punya.
Aku lalu saja. Kembali melanjutan niatku untuk bertamu ke ibukota. Dan tak sendirian saja ternyata yang sangat cinta dengan ibukota negeri ini. Berhuyung - huyung dan berbondong - bondong orang dimana - mana memenuhi jalanan menuju perhentian kerete api. Keramaian orang - orang ini menyamarkan suara petugas commuter yang mengumumkan kereta yang datang dan tujuan pergi dari masing - masing kereta di jalurnya. Sembari ada orang yang sepertinya memanggil - manggil. Tak lama berselang ada yang menepuk bahuku.

"Kang, maaf bukunya tadi ketinggalan di ATM", ringan mengambang suaranya yang juga dibarengi mengulurkan tangan menyodorkan buku yang tadi kubawa, yang tadi kucari.

Mulaiah kambuh lagi. Aku tertegun memandang penuh perempuan dengan suara yang ringan itu.